Social Media Sharing by CB Bloggerz


a
a
a
a

Recent Posts
recent

Tuyul di Alun-Alun Situbondo


 Oleh : Moh Imron

Sepertiga malam, sekitar pukul dua. Terdengar suara anak-anak sedang mandi dan bergurau. Itu mengganggu tidurku. Saat itu aku sedang istirahat di gazebo utara pilar garuda alun-alun Situbondo. Aku kesal. Lantas aku menghampiri suara itu.

Terlihatlah beberapa tuyul dan mahluk aneh lainnya yang tingginya rata-rata sekitar 120 cm. Dengan cepat, aku bersembunyi di balik rimbunan bunga. Perlahan, aku mengintip meskipun bercampur rasa takut. Entah ilmu apa yang mereka gunakan, monumen perahu layar yang berada di atas bangunan tengah kolam, tiba-tiba perahu itu tidak berada pada tempatnya. Perahu yang semula patung, berjalan mengelilingi kolam yang bundar, seperti perahu mainan yang terbuat dari seng, lalu di jalankan di atas air dalam bak. Para tuyul dan mahluk aneh kecil lainnya sedang asik menaiki perahu. Ada juga yang bersalto dari atas perahu, berenang, menyelam, saling menyiram air.

Sementara beberapa patung bangau di atas tebing buatan, terbang berputar-putar di atas kolam, lalu hinggap untuk minum air. Seperti dalam film “Night at the Museum”. Tak ada orang satu pun yang melintas dan melihat di area alun-alun ini. Kemungkinan kebanyakan mereka sudah terlelap dari tidur, dengan bantal dan kasur yang empuk menikmati mimpi-mimpinya.

Aku terus memperhatikan para tuyul dan temannya. Terbesit keinginan untuk menghampirinya, barang kali aku bisa meminta uang banyak. Yang nantinya dapat memenuhi keinginanku. Kata orang, tuyul sering mencuri uang. Mungkin mereka habis bekerja kemudian kelelahan, lalu mandi di kolam ini. Mereka pasti membawa banyak uang. Tapi aku tidak berani menghampirinya. Aku pun mengurungkan niat.

Tidak terasa aku berdiri lama di sini. Mungkin sekitar satu jam. Para tuyul dan mahluk aneh lainnya mengembalikan perahu tadi ke tempat asalnya, yang berada di atas bangunan tinggi tengah kolam. Sepertinya para tuyul dan mahluk halus telah selesai mandi dan mengilang seperti dalam serial “Mak Lampir”. Sejenak kemudian ayat sebelum subuh, berkumandang keras tepat di barat alun-alun kota. Aku pun kembali ke gazebo dengan perasaan heran.

***

Aku tidak percaya dengan cerita di atas. Satu hari yang lalu ada orang yang bercerita seperti itu. Kala itu, sekitar pukul dua siang, aku tidak sengaja duduk bersamaan dengan lelaki tua di gazebo Mungkin umurnya sekitar empat puluh tahun. Sepertinya ia orang perantauan. Hanya orang gila yang percaya dengan cerita itu. Sepertinya orang tua itu bercerita omong kosong. Aku pun mencoba melupakannya.

Sepuluh hari  kemudian. Aku double date ke alun-alun kota. Tepatnya, rabu malam. Setelah sampai di tempat parkir utara lapangan basket, Adi bersama pacarnya meminta izin untuk beli bensin danbeli beberapamakanan dan minuman di indomaret. Aku dan Via menunggu dan duduk di beton dekat monumen perahulayar. Malam ini, Via begitu cantik.

“Monumen perahulayarnya bagus ya?” Kata Via memulai obrolan.
“Iya, itu karya anak SMK, katanya,” sahutku.
“Sejak kapan monumen ini dibangun ya?” Tanya Via.
“Aku kurang tahu juga. Kamu tahu kenapa dibuat perahu,” tanyaku.
“Ya, karena di Situbondo kawasan bahari dengan berbagai macam aktivitas para nelayannya.”
“Ah, kamu keliru.”
“Terus, emangnya apa?”Tanya Via dengan rasa penasaran.
“Supaya aku, bisa berlayar di hatimu.”
Ah, sayang bisa aja,” jawab Via dengan salah tingkah.

Aku mengobrol banyak dengan Via, beberapa menit kemudian Adi datang membawa beberapa makanan dan minuman. Cukup indah malam ini. Kami berempat menghabiskan waktu dengan curhatan dan cerita-cerita lucu. Hingga tidak terasa sudah pukul 21.00 WIB. Aku pun beranjak pulang.

Sesuatu terjadi pada  pacar Adi. Kedua antingnya hilang. Kami berempat mencari di tempat yang kami singgahi. Tapi hasilnya nihil.

“Lebih, baik kita pulang saja,” ajak pacar Adi.
“Ok dah,” jawab Adi singkat.
“Oh iya Di, ini uang ganti makanantadi,”sambungku sambil menjulurkan lembaran uang lima puluh ribu.
“Bentar, aku ambil kembaliannya,” kata Adi sambil mengambil dompetnya. “Kok uangku hilang?” Adi menambahkan.
“Berapa Di? Tanyaku.
“Tiga puluh ribu, kembalian dari indomaret. Ini tinggal seratus ribu, Kemana ya?”

Kami berempat kebingunan. Aku merapa kantong celana untuk mengambil kunci motor yang hendak pulang. Dan kuncinya tidak ada. Aku memastikan semua saku dan tas selempang ternyata tidak ada.
Di kunci motorku hilang. Bantuin cari ya Di? Aku dan Via mau ke parkiran, barang kali ketinggalan di sana.”

Aku berjalan terburu-buru. Dan akhirnya, tidak ada juga.

“Terus gimana ini yang?” kata Via.
“Ya udah, biarin. Cuma kehilangan kunci. Yang penting tidak kehilangkamu.
“Ah sayang udah tahu kita kebingungan masih saja ngegombal,” kata Via dengan nada manjanya.
“Udah tenang, kamu pulang sama Adi, bonceng dua. Setelah itu biar Adi meminta kunci cadangan pada kelurgaku. Nanti aku menunggu di sini.

Aku kembali menemui Adi dan pacarnya. Lalu mereka bertiga beranjak pergi dari hadapanku. Aku mencari lagi sekitaran tempat duduk, sambil menunggu kedatangan Adi. Tiba-tiba aku teringat pada cerita orang yang bertemu  beberapa hari yang lalu. Apa mungkin sekitaran kolam ada beberapa tuyul dan mahluk aneh, seperti yang diceritakan. Kalau begitu tuyul itu mengambil uang Adi, atau mungkin mahluk aneh teman para tuyul juga mengambil perhiasan dan kunci motorku. Tapi gak mungkin, mana ada mahluk halus mengambil kunci motor. Tapi kalau uang dan perhiasan? Mungkin.

Ada rasa penasaran. Apakah kolam ini ada penunggunya. Kata orang-orang, tempat ini dulunya terdapat pohon beringin. Kemungkinan pohon tersebut banyak penunggunya, lalu di tebang. Jadi penunggunya masih bersemayam di sini. Apa lagi tempat ini tidak seindah beberapa tahun yang lalu. Di kolam ini air mancur mengalir dan jernih terdapat beberapa ikan. Di tebing buatan juga air mengalir dan hiasan lampu. Itu dulu. Sekarang tidak lagi. Mungkin mahluk halus betah dengan tempat yang seperti ini.

Tapi kalau menurut kejadian yang sebenarnya. Pohon beringin yang  tidak bersalah itu, tumbang akibat kisruh partai politik yang terjadi pada tahun 1997 silam, kalau tidak keliru. Sebagai gantinya, maka dibangunlah monumen perahu layar di tengah alun-alun kota.

Adi sudah datang mengambil kunci, lalu aku bercerita pada Adi tentang cerita orang beberapa hari yang lalu. Dan akhirnya aku dan Adi sepakat untuk mengintip para tuyul dan mahluk aneh pada saat jam dua nanti dini hari.  Tapi saat sampai pukul 23.00 WIB, hujan mengguyur Kota Situbondo. Aku pun mengurungkan niat. Untung aku dan Adi selalu siap sedia membawa jas hujan dalam jok motor. Aku pun memutuskan pulang.

***

Keesokan harinya sekitar jam dua siang. Aku dan Adi mencari orang yang melihat tuyul dan mahluk aneh itu. Barangkali orang itu bisa membantuku. Saat sampai di gazebo utara monumen garuda, orangnya tidak ada. Aku menunggu hingga jam empat sore. Tetap sajaorangnya tidak ada. Aku bertanya pada seseorang yang berjualan di sebelah timur gazebo. Barangkali, dia tahu siapa orang yang sering duduk di tempat ini.

“Permisi Pak, numpang tanya?”
“Iya, ada apa Dek?
“Bapak tahu sama orang yang sering duduk di sana Pak?” tanyaku sambil menunjuk pada tempat gazebo.
“Oh itu, Pak Dale namanya. Kata orang dia mempunya ilmu supernatural.”
“Benarkah?”
“Akibat satu ilmu yang tidak bisa tercapai. Ia setres saat berjuang memenuhi persyaratannya. Sejak empat bulan lalu, dia resmi menjadi orang gila.
“Jiiiiiiiiiir,”gumamku dalam hati.
Redaksi

Redaksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.