Social Media Sharing by CB Bloggerz


a
a
a
a

Recent Posts
recent

Selendang untuk EMMAK

sumber gambar mjdreamer.wordpress.com
Oleh : Baiq Cynthia
Lima belas tahun silam, menikmati lagu-lagu pengantar tidur adalah bagian yang terpenting. Disenandungkan oleh wajah yang persis denganku. Namun, tergurat garis-garis halus di keningnya. Bunga seroja karya Said Effendy selalu mengantarkan hingga bunga tidur. Setiap sepertiga malam, harus terbangun karena dia tak ada di kasur, tempat kami merangkai mimpi. Terdengar suara merdu dari ayat yang syahdu. Tanpa ragu, mencari muara lantunan indah di malam yang penuh Ozon. Kain putih yang dikenakan, dan tidak membuat bulu kuduk berdiri. Kuamati lekat-lekat. Dia adalah Emmak.
Mengecup punggung tangan sesepuh adalah kebiasaan bangsa pribumi. Mendaratkan kepala di atas paha yang selunjur. Jua mendengarkan lebih dalam bacaan yang menentramkan hati. Kelopak mata terasa berat, dan tidak tahu apa yang terjadi setelahnya. Selain merajuk mimpi. Tidur.
Terasa hangat di pipi, sebuah ciuman manis. Tak lain dari sosok paruh baya yang tersenyum simpul. Seruak dentuman talu, mengisyaratkan semua yang terlelap untuk bangkit dari mimpinya. Menghadap Ilahi. Dia memperagakan gerakan-gerakan yang disusul untaian do’a. Bocah kecil di sampingnya hanya mempertajam bola mata, sambil menguap tak henti. Melirik setiap pergerakannya. Aku tak begitu paham bacaannya. Namun rasanya menentramkan jiwa.
“Kenapa hanya terdiam sayang? Ini namanya Sholat,” seusai berdoa tangannya meraba halus batok kepalaku.
Terkesima. Tidak pernah melihat sebelumnya. Karena, baru beberapa hari aku bersama sosok ini.
Mentari telah terjaga, teh hangat dan pisang goreng terhidang di meja saji. Menu sarapan yang dinantikan. Namun, saat kaki menuju ruangan kecil tempat tergeletaknya kompor tua. Manik mata tertuju kepada Emmak menilang jamu ke dalam plastik bening. Yang nantinya bungkusan plastik-plastik hangat yang berwarna kecoklatan, beliau tawaran ke setiap orang yang disapanya.
“Emmak, hari ini Dita boleh ikut, kan?”
“Kok tumben anak emak pengin ikut, gak mau main boneka sama ratih?”
“Bosan, ingin jalan-jalan sama emmak.
“Jangan sayang, nanti kamu capek juga kepanasan,” sembari mengirimkan cubitan ke pipi yang kini memerah.
“Ah, aku sudah besar. Ayolah mak. Kok pelit, sih?!”
“Ya, sudah. Ayo cepat mandi!”
“Hore… horeeee….” Pekikku.

Sang Surya mulai memanaskan bumi. Bulir bening yang mulai becucuran di kening sosok wanita yang berjalan di sampingku. Membawa dua tas belanja berisi penuh bungkusan jamu membuat kakinya terseok-seok. Kebisingan kendaraan beradu dengan suara yang sayup. Beberapa orang hanya menggelengkan kepala saat diperlihatkan jamu dalam plastik. Satu-dua orang antusias mengambil sembari memberikan lembaran. Lembaran bergambar pulau Maitara. Senyum renyah nampak di wajah tuanya. Alhamdulillah. Bisik hatiku. Untaian kata yang selalu diucapkan saat mendapakan kebahagiaan. Kata seseorang yang rahimnya pernah kusinggahi.
Ternyata berjualan jamu itu panas, ya? Kenapa enggak berhenti saja sih? Harus teriak-teriak sambil membawa jamu yang berat. Berjalan berkilometer. Kasian Emmak. Aku ingin sekali membantunya. Tapi aku bantu apa? Pasti aku hanya menyusahkan saja. Aku selalu menghabiskan waktu untuk minta uang jajan, pergi main rumah-rumahan, boneka, congklak, walang sangit, bekel sama Ratih.
Emmak kapan, ya? Membelikan boneka juga. Barbie atau boneka panda. Tapi, emmak semangat. Ya! Dita janji tidak akan minta uang jajan lagi.
“Jamu … jamu… jamu!” teriak kami secara bergantian. Hingga beban yang berat itu kini terasa ringan. Setengah hari mengelilingi dua desa. Berkat kasih sayang-Nya, jamu-jamu terjual habis.
Bulan tergantung indah di langit penuh bintang. Angin lembut menyapa pipi, tergenggam foto Emmak. Sosok yang tak pernah absen untuk hadir dalam mimpi. Kusandingkan fotonya bersama rembulan. Bahkan tak menandingin senyumannya.
Malam kian larut. Jendela kini ditutup rapat. Kugelar sajadah, setelah mengambil air suci untuk berwudhu. Dalam do’a terakhir kuselipkan nama beliau agar selalu tersenyum. Ditemani selimut coklat bermotif batik. Orang menyebutnya sampir yang biasanya digunakan untuk kebaya tradisional.
Sesuatu bergerak yang mendesak menerobos dari bola mata. Kini membasahi pipi. Semakin lama bulir bening itu membasahi kedua tangan yang terselungkup. Siapa yang mengira anak penjual jamu bisa lulus ujian Skripsi. Berkat setangkup do’a yang dikirimkan kepada Tuhan setiap sepertiga malam. Baris suci yang dilayangkan dari bibir seorang Ibu. Buah hatinya yang kini terpisah jauh darinya. Kota perahu selalu mengingatkan masa kecil bersama pahlawan membawa jamu. Boneka kecil yang dibeli dari celengan Emmak, spesial ulang tahun ke-7.
Do’a dan kecupan manis sebelum berangkat sekolah. Hingga tak tidur jika anaknya akan menghadapi Ujian Nasional. Menjaga agar tak sendiri saat belajar, walaupun kerut di ujung mata. Sosok tegar yang hanya tersenyum. Tak banyak membantu, karena buta aksara. Tak bisa baca tulis.
Rela tak menjual jamu, hanya menjaga putri satu-satunya saat sakit. Mengopreskan handuk hangat di kening. Menyuapkan nasi saat makan menjadi sulit. Mengajak bercanda agar senyum ceria tampak di bola matanya. Tidak ada barang elektronik pun.Namun, merasa wanita tegar di samping tempat berbaring menghibur, mengusir kebosanan.
Menceritakan sejarah Ibrahim yang menghacurkan berhala, walau harus dihukum. Dibakar api, hidup-hidup. Tak sehelai rambutnya terbakar. Allahu Akbar. Kebesaran-Nya yang mampu menyelamatkan hamba-Nya.
Sosoknya tak dapat hadir di acara Wisudaku. Terbaring lemah di gedung bernuansa putih.  Membayangkan jarum menancam di nadi tangannya. Berhari-hari berbaring diatas ranjang yang tak seempuk kasur. Berbulan-bulan terlelap dalam mimpi panjang. Beliau koma. Entah apa penyebabnya. Ditemukan pingsan di depan rumah seusai berjualan. Malaikat sebelah rumah membawa ke rumah sakit.
Bersyukur semenjak kecil harus terpisah dari sosok bertangan baja. Tangan yang selalu melayangkan tamparan kepada pipi halus yang menanggung sakit. Wanita tegar yang tak punya nyali saat merebut hak istri dari pria keras kepala. Lelaki yang berteman dengan alkohol dan judi. Nasib buruk menimpa wanita peyayang. Luka lebam menjadi makanan setiap hari. Bercerai menjadi harus. Ketika usia bocah mungil setengah dekade, hak asuh di tangan wanita yang menghadirkan balita berparas manis di muka bumi. Setelah sebelumnya diasuh mertuanya.
Lamunanku terhenyak saat Dita Kusuma Perdana dipanggil untuk naik ke atas podium, haru dan bangga. Menjadi mahasiswi berprestasi, berpidato singkat di hadapan tamu undangan. Ucapan apresiasi pertama hanyalah untuk Emmak, Kusuma Laksmi.
Bapak Rektor menyadangkan selempang emas bertuliskan Wisudawati Terbaik. Disertai teriakan, tepuk tangan seluruh orang di depan manik mataku. Bulir bening tumpah di atas riasan make up natural. Bola mata sedikit merah. Penuh harap wanita tercinta bisa pulih.
Beberapa teriakan bahagia terdengar hingga meninggalkan podium. Senyum manis berusaha kutampakkan, walau pilu merindukan Emmak.
Roda bus terasa pelan berputar. Perjalanan ke Situbondo terasa lambat. Tak sabar ingin memeluk raga yang lemah namun berjiwa tangguh.
Setengah berlari, menuju kamar inap Emmak. Seminggu lalu menjenguknya. Hanya suster yang menjaga. Kudapati wajah menua yang pucat, bibir yang kering. Matanya surut padam. Seolah tersenyum. Kukecup tangannya. Hingga hidung tak ingin lepas bersentuhan.
“Emmak, Dita lulus dengan sempurna. Salam dari bapak Rektor. Semoga Emmak lekas sembuh. Emmak, tolong buka matanya. Emmak, bangun!”
Percaya Allah sayang kepada hamba-Nya,memberikan kesempatan bernapas normal, berbicara, dan tersenyum kembali. Setiap penyakit akan ada penawarnya. Namun, umur menjadi hak otoritas-Nya.
Saat akan duduk di sampingya. Tiba-tiba listrik padam. Alat pendeteksi jantung mati, Tabung oxygen tak bekerja. Panik, berteriak. Karena alarm untuk memanggil dokter tak berfunsgsi. Air mataku tertahan di sudut mata. Hingga dokter bergegas, menghidupkan mesin diesel. Alternatif saat lampu padam. Layar kotak informasi denyut jantung malah menggambarkan garis lurus. Dokter langsung sigap memegang alat bertegangan listrik tinggi.
“Satu … dua … tiga!” Tarikan alat serupa setrikaan untuk mengembalikan denyut jantung. Namun, Emmak tidak bergerak. Dicoba lagi oleh tim dokter. Hingga ketiga kali.
Allah maha Penyayang. Mengajak wanita yang kini terlihat seperti tersenyum untuk hijrah ke langit. Innalillahi wa Innailaihi raji’un. Segala sesuatu yang berasal dari Allah akan kembali lagi kepada-Nya.
“Semoga dia ditempatkan yang terbaik!” suara pelan dari salah satu dokter.
Selang dua menit, lampu menyala. Wajahnya semakin jelas. Tak terlihat kesedihan. Dia rela berjuang tanpa sebelah sayap. Meraba tangan kirinya. Terasa dingin dan kaku. Emmak terima kasih menghadirkan senyuman untuk adinda. Berikan sejuta kemilau bunga di sanubari di tengah kelamnya dunia. Emmak, maafkan adinda belum memberikan apapun. Tapi, ini spesial untuk orang paling berharga. Kusandangkan selendang emas yang kukenakan di atas dadanya. Sebagai penghormatan terakhir untuk patriot tanpa tanda jasa. Pahlawan sejati!


Rumah Inspirasi

Rumah Inspirasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.