Oleh Wirdatun Nafisah*
Tembakau (Nicotina spp., L)
adalah tumbuhan dari famili Solanaceae yang saat ini terdapat 70 spesies
tembakau alami (Rathbone,
2008). Berbagai jenis tembakau yang dibudidayakan di Indonesia di antaranya
adalah tembakau cerutu, tembakau rokok putih atau Virginia, tembakau rokok
keretek, tembakau pipa dan tembakau kunyah (Sudarmo, 1987).
Pada umumnya, budidaya dan eksploitasi daun
tembakau di Indonesia dijadikan bahan untuk dihisap atau diasapi sebagai rokok,
melalui pipa rokok ataupun hookah (Sfectu, 2014).
Rokok mengandung ribuan komponen dengan
kandungan utamanya adalah nikotin, tar dan karbon monoksida. Nikotin
membutuhkan waktu yang sangat singkat untuk amuk ke otak begitu seseorang
menghisap rokok. Nikotin ini dapat menyebabkan kematian jika kadarnya lebih
dari 30 mg. Nikotin juga dianggap sebagai zat yang memberikan perasaan senang,
nikmat serta merasa daya pikir lebih cemerlang sehingga perokok selalu ingin
mencoba merokok lagi. Sedangkan tar merupakan zat tunggal yang terdiri dari
ratusan bahan kimia gelap dan lengket dan tergolong racun. Karbon dioksida
adalah racun yang suka berikatan dengan hemoglobin (Hb) dalam butir darah merah
yang membuat kemampuan Hb dalam mengangkut dan menyuplai oksigen ke seluruh
tubuh terganggu dan hal ini menyebabkan kerja jantung melemah (Dewanto dkk.,
2011).
Asap rokok dapat mengakibatkan kerusakan
yang dimulai dari tingkat sel sampai ke berbagai organ serta sistem organ dalam
tubuh. Gerbang pertama yang menjadi sasaran asap rokok adalah paru-paru. Selain
itu, racun-racun yang terkandung dalam asap rokok juga menyebar ke setiap sel
dalam tubuh. Paru-paru terancam hingga hemoglobin lebih mudah membawa karbon
dioksida daripada membawa oksigen ke paru-paru. Sehingga otak tidak memperoleh
cukup oksigen. Sedangkan nikotin yang tersebar melalui darah dapat mempengaruhi
denyut jantung, kulit, penyempitan pembuluh darah dan menyebabkan hati
melepaskan gula ke dalam aliran darah. Berbagai penyakit yang dapat timbul
akibat asap rokok di antaranya adalah jantung koroner, kanker paru-paru, kanker
mulut atau tenggorokan atau kerongkongan, bronkitis, penyakit pembuluh darah
otak, gangguan janin dalam kandungan dan emfisema (Syarifuddin, 2003).
Pemanfaatan
tembakau yang notabene sebagai bahan dasar rokok, menjadikan konsumsi
tembakau di Indonesia semakin meningkat seiring meningkatnya konsumen rokok. Menurut
data prevalensi berdasarkan SUSENAS, Kosen (2004) dalam buku Tobacco Sourcebook bab
2, konsumsi tembakau di Indonesia adalah sebanyak 57 juta penduduk merokok.
Presentase penduduk yang merokok pada tahun 2004 adalah 34 persen, yang
merupakan peningkatan 27 persen dari tahun 1995. Dari angka tersebut didapatkan
63 persen di antaranya adalah perokok laki-laki dan 4,5 persen perokok
perempuan. Dari penduduk yang mengkonsumsi tembakau, 97 persen merokok dan
mayoritas mengkonsumsi rokok keretek. 78 persen perokok mulai merokok sebelum
umur 19 tahun dan rata-rata mereka memulai merokok pada umur 17,4 tahun. Lebih
97 juta penduduk Indonesia dan 70 persen anak di bawah umur 15 tahun adalah
perokok pasif yang menerus terpapar asap rokok. Angka peningkatan konsumen
rokok atau perokok tersebut merupakan suatu ironi jika dibenturkan dengan
bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh rokok sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Oleh karena itu, menjadi sangat penting upaya untuk mengurangi angka konsumen
rokok serta mereduksi bahaya tembakau sebagai bahan dasar rokok tersebut.
Merespon fakta tersebut, pemerintah
berusaha mencegah berbagai macam akibat buruk yang ditimbulkan oleh rokok.
Salah satunya adalah dengan membentuk instrumen hukum berupa Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan, yang
dibentuk atas upaya sadar pemerintah untuk melakukan pencegahan dan pengamanan
atas resiko rokok. Materi muatan yang terkandung dalam peraturan pemerintah
tersebut adalah dengan melindungi kesehatan masyarakat terhadap insidensi
penyakit yang fatal dan penyakit yang dapat menurunkan kualitas hidup akibat
penggunaan rokok; melindungi penduduk usia produktif dan remaja dari dorongan
lingkungan dan pengaruh iklan untuk inisiasi penggunaan dan ketergantungan
terhadap rokok; serta meningkatkan kesadaran, kewaspadaan, kemampuan dan kegiatan
masyarakat terhadap bahaya kesehatan terhadap penggunaan rokok.
Implementasi kongkrit dari peraturan
pemerintah tersebut adalah pengujian kadar nikotin di laboratorim yang
terakreditasi, transparansi informasi mengenai kadar nikotin dan tar,
peringatan kesehatan pada label di bagian kemasan, proses produksi berdasarkan
standar persyaratan kesehatan, pengaturan pembatasan mengenai materi
periklanan, kewajiban pencantuman bahaya merokok, batasan-batasan kawasan tanpa
rokok, dan sebagainya. Beberapa hal tersebut dilakukan sebagai salah satu
bentuk upaya pemerintah dalam mencegah seminimal mungkin resiko penggunaan
rokok.
Beberapa
upaya tersebut patut untuk diapresiasi, namun juga tidak bisa dinafikkan bahwa tindakan
tersebut belum berjalan secara efektif dan efisien. Pada satu sisi, konsumen
atau perokok yang semakin meningkat serta tidak bisa lepas dari rokok sebagai
konsekuensi dari zat adiktifnya, di sisi lain, produsen rokok yang juga tidak
mengurangi bahkan menambah kuantitas produksinya. Hal itu tampak wajar dalam
strategi bisnis mengingat rokok mempunyai peluang keuntungan yang sangat besar,
bahkan dianggap sebagai salah satu industri yang berkontribusi bagi
perekonomian Indonesia. Industri rokok menyumbang 1,66% total Pendapatan
Domestik Bruto (PDB) Indonesia, dan devisa negara melalui ekspor ke dunia yang
nilainya pada 2013 mencapai US$ 700 juta. Selain itu, industri rokok juga
menjadi sumber penghidupan bagi 6,1 juta orang yang bekerja di industri rokok,
secara langsung dan tidak langsung, termasuk 1,8 juta petani tembakau dan
cengkeh (Compas.com, 2016). Adanya
peraturan pemerintah yang dibenturkan dengan fakta sosiologis yang demikian
tentunya mengakibatkan inefisiensi dan inefiktifitas implementasi peraturan
pemerintah sebagaimana original inten pembentukannya.
Peraturan
dan peringatan mengenai pembatasan produksi tembakau maupun rokok yang dianggap
tidak efektif dan tidak efisien dapat diganti dengan solusi yang berlandaskan
ilmu pengetahuan atau sains. Selain alih fungsi tembakau, perlu diidentifikasi titik
masalahnya yaitu rokok yang mengandung bahan berbahaya yang dapat menciptakan
penyakit, sehingga kandungan yang harus dimusnahkan adalah kandungan
berbahayanya, bukan bahan pembuat rokok (tembakau) yang bahkan bisa
dimanfaatkan untuk hal lain. Sesuai dengan penelitian dari dosen ahli nanoscience
Universitas Brawijaya yang bekerja sama dengan Lembaga Penelitian Peluhuran
Radikal Bebas (LPPRB) di Malang, Jawa Timur, terbukti dapat menciptakan rokok
sehat yang disebut devine kretek. Riset yang berbasis nanosains dan
nanoteknologi ini dapat ditemukan formulasi scavenger, yang dapat
mengendalikan dan memodifikasi yang beracun menjadi tidak beracun. Para ilmuwan
LPPRB memastikan 100% scavenger dapat menangkap radikal bebas pada kretek
yang menyebabkan berbagai penyakit dalam tubuh manusia (Dewanto dkk., 2011).
Melihat
ketidak seimbangan yang ada, patutlah kita berulang-ulang memikirkan, mencari
solusi hingga mengimplementasikannya menjadi sebuah keteraturan dan memberikan
manfaat untuk semua. Yang menjadi titik dasar kewajiban kita sebagai manusia
adalah dengan berpikir dan memperkaya diri dengan ilmu pengetahuan. Karena
sejatinya, pemanfaatan alam adalah tergantung dengan pengetahuan terhadap alam
itu sendiri. Permasalahan bahaya rokok yang ada di Indonesia tidak bisa hanya diselesaikan
oleh pemerintah saja, tetapi perlu melibatkan para ilmuwan serta seluruh pihak sehingga
didapati solusi cemerlang tanpa merugikan atau menyudutkan pihak manapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar