Oleh : Ahmad Zaidi
Pernah dimuat di Radar
Banyuwangi
Minggu, 2 Agustus 2015
Tubuh dekil itu terburu-buru
menyusuri trotoar. Songkok nasional di kepalanya terbang dihempas angin.
Tangannya menggapai-gapai, mencoba meraih, agar penutup kepalanya tak jatuh ke aspal kemudian dilindas
ban kendaraan yang lalu-lalang.
Tubuh kumal itu kembali berjalan, kali ini lebih cepat, lalu hilang ditelan gedung
besar di tengah kota. Siapa pun bisa membaca tulisan besar di halamannya yang
luas. Balai Kota.
“Ada perlu apa, Pak?”
Seorang Pegawai dengan baju rapi—lengkap dengan dasi— macam resepsionis, bertanya. Mungkin
pertanyaan ini sudah ia hafal dan tak terhitung berapa kali telah diucapkan sehingga
tak ada ekspresi yang tergambar jelas di raut mukanya. Tak ada kesungguhan
bertanya dalam intonasi suaranya.
“Saya ingin bertemu Bupati.”
Laki-laki tadi menjawab, pandangannya mengelilingi seisi ruangan. Nyaman betul
kerja di sini, pikirnya.
Dahi pegawai itu mengernyit,“Tidak
salah, Pak?” Matanya mengamati sekujur tubuh Pria Tua di hadapannya.
“Eh. Apa?”
“Saya tanya, anda tidak
salah alamat?” Pegawai Baik Hati mulai ketus.
“Tidak, tidak salah kok, Mas.”
“Baiklah! Mohon tunggu
sebentar.” tangan Pegawai tersebut cekatan sekali memencet tombol lalu
mengangkat gagang telepon berdering.
“Halo, ada yang bisa saya
bantu? Baik, Ibu. Kenapa? Ya.. Baik, akan saya usahakan.” Telepon dimatikan.
“Kenapa masih berdiri?” si Pegawai
kembali bertanya, melihat Pria Tua tadi tak beranjak dari tempat semula.
“Anu.. Kan belum
dipersilakan duduk, Mas.”
Sang Pegawai ber-puh
pelan.
“Silakan duduk, Pak!”
***
Sirun, begitulah para
tetangga memangggilnya. Bapak yang menyanyangi anaknya, menyekolahkan, memberi
kehidupan sederhana bagi keluarga. Semenjak sang istri meninggal, tinggallah ia
bersama anak sematawayangnya di desa Sukaheboh, pesisir utara Kabupaten Sonar.
Di sana mereka mengadu nasib, mengais peruntungan pada laut. Ketika sulit
mendapat tangkapan ikan, berhari-hari Sirun harus bekerja di luar kota sebagai
kuli bangunan. Demi menyambung biaya sekolah Maman, anaknya. Kalau sudah
begitu, Maman harus rela menunggui Sirun tanpa sesuap nasi. Satu-dua hari sudah
biasa baginya.
Terkadang, mereka memunguti sampah di tepian
pantai Sukaheboh. Mengumpulkannya, setelah cukup banyak barulah di jual.
Sirun mendidik Maman untuk
mencintai alam, khususnya pantai. Terkadang ia menceritakan bagaimana dulunya,
hasil laut melimpah, nelayan Sukaheboh tercukupi kehidupannya. Berbeda dengan
sekarang, para nelayan tak tentu nasibnya. Di mana-mana telah terjadi pengrusakan. Nasib nelayan
diabaikan.
***
“KHHIIKK!”
Sirun mengerem. Seseorang
telah menunggunya di seberang jalan.
“Jadi, mana orang yang katamu
bisa membantuku,
semalam?” Sirun menghampiri orang itu, Pak Darmaji.
“Tenanglah sebentar, Run.
Jangan terburu-buru. Mungkin segelas kopi bisa mencairkan kegelisahan kamu itu.
Dan kabar baiknya, kopi di sana enak tanpa tandingan.” Pak Darmaji menunjuk
kedai kopi di seberang jalan, “Bagaimana, kamu mau?”
Sirun mendengus
sebentar,“Baiklah!”
Pak Darmaji adalah warga
desa Sukaheboh, teman sepermainan Sirun semasa kecil, sama-sama dijerat
kemiskinan, ditinggalkan istri pula. Hanya saja, Pak Darmaji dikirimi surat
cerai oleh sang istri lantaran tidak mampu memberi nafkah. Bayangkan saja,
istri mana yang tahan melihat suami sering pulang malam, kerjaannya berjudi,
kalah taruhan, barang-barang berharga di rumah dijual satu-persatu. Siapa yang
tahan, tidak diberi nafkah seminggu, ditinggal pergi, anak-anak tidak
diurus nasibnya.
“Sudahlah, Ji. Aku pulang
saja!” Setelah beberapa jam menunggu, menghabiskan dua gelas kopi, beberapa
gorengan, yang ditunggu belum tampak ujung rambutnya, Sirun memutuskan pulang.
Alangkah lebih baik ngarek daripada menghabiskan waktu di warung kopi
macam sekarang; menyisakan waktu bermain buat Maman.
“Bilang sama pejabat kamu
itu, lain kali ‘jangan berjanji’ kalau tidak bisa menepati!” Sirun sudah berada di atas
sepedanya, melaju pelan.
“Lho, Run! Siapa yang bayar
kopi sama gorengannya?” Pak Darmaji berseru kesal. “Ruuun, Sirun. Hei!”
Sirun hanya melambaikan
tangan, tidak menoleh. “ Masukan saja dalam daftar tagihan pejabat kamu itu!
Pasti dia maklum.”
Sekonyong-konyong, Ibu
pemilik warung berdiri di hadapan Pak Darmaji.
“Jangan lari sampeyan!”
Pak Darmaji mengangkat kedua
tangannya, “Maaf lho, Bu! Saya tidak bermaksud ngutang. Tapi mau gimana
lagi, sepeserpun saya tidak punya uang.” Pak Darmaji menjelaskan perihal kopi
dan gorengannya tadi kepada pemilik warung.
“Ya sudah, mana KTP sampeyan?”
Patah-patah, Pak Darmaji
menjulurkan tangan, menyerahkan satu-satunya penghuni dompet lusuh di saku
kiri. “Ini, Bu.”
Sebelum bergegas pergi, Pak
Darmaji menyempatkan bertanya. “ Ngomong-ngomong, KTP saya itu buat apa, Bu?”
“Buat jaga-jaga, Pak.
Sekarang ini banyak kasus penipuan, saya lihat di tipi semalam. Kalau
dalam sebulan, bapak tidak juga bayar, ya terpaksa, saya laporkan ke pihak
berwajib!”
Seketika tubuh Pak Darmaji
lemas. Apa kata Ibu pemilik warung tadi? Pihak berwajib? Ah, dia tidak mau lagi
digebuk macam kasur dijemur.
***
Malamnya, Sirun memutar
otak, berpikir keras. Bagaimana caranya menyampaikan masalahnya kepada orang
nomor satu di kabupaten. Ia teringat dengan usahanya untuk bertemu, berjam-jam
menunggu di kantor pemerintah, hanya tamu berpakaian rapi yang dipersilakan
masuk, mengenakan jas rapi, hingga ia pulang.
Begitupun usahanya tadi siang, berjam-jam menunggu pejabat kenalan Pak
Darmaji, nihil. Lagi-lagi ia harus pulang dengan tangan kosong.
“Pak! Tadi, di sekolah, Maman
diajari menulis surat. Maman bingung harus nulis buat siapa. Ibu Guru menyuruh
menulis buat Bapak. Hasilnya, surat itu dapat nilai sembilan puluh. Pintar kan Maman,
Pak?” Maman bercerita. Sudah kebiasaan anak seusianya, menceritakan peristiwa
yang dialami kepada orang tua.
Apa katanya tadi, Surat? Ah,
ya. Surat!
Alih-alih menjawab, Sirun
beranjak dari duduknya, mengambil secarik kertas dan pulpen. Maman yang
kebingungan menatapnya penuh heran.
“Sebentar, Nak! Bapak mau
menulis surat.”
Maman semakin bingung.
Di hadapan kertas itu, pikiran
sirun seakan tumpah ruah. Sekarang ia tahu bagaimana cara menghubungi dengan
Bupati, tanpa harus mengenakan pakaian yang mungkin saja harganya cukup untuk
makan sebulan, dua bulan barangkali.
Ia ingin meminta beberapa
tempat sampah, mengingat pantai Sukaheboh sering didatangi turis lokal. Ia
ingin meminta beberapa bibit bakau untuk ditanam, karena akhir-akhir ini
permukaan air laut semakin naik. Ia takut terjadi abrasi
sehingga harus dicegah dengan menanam pohon tadi. Dan terakhir, ia ingin
masyarakat di Sukaheboh diberi penjelasan pentingnya menjaga laut dan
melestarikannya.
Di bawah temaram templok,
Sirun mulai menulis suratnya.
Kepada Yth. Bapak Bupati []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar