Social Media Sharing by CB Bloggerz


a
a
a
a

Recent Posts
recent

Berakhir pada Maret

Oleh : Kiswatul Latifa          

           Kami duduk berhadapan dengan bahasa yang dimengerti perasaan masing-masing. Segelas susu dingin dan lagi-lagi Soda Gembira yang dipesannya, membuatku tak pernah lupa akan Ia-kini duduk tepat di depanku dan masih diam. Langit masih biru, berhadapan dengan laut yang juga biru. Tentu saja dengan kadar biru yang berbeda-beda. Persis seperti hati kami berdua, cinta yang berbeda-beda, rindu yang tak sama kadarnya.
            Ini hari terakhir di bulan Maret. Tepian air laut yang beriak, juga angin yang mendesir dan daun menari. Pagi terakhir yang paling manis. Ada sepasang kepiting hitam yang berlarian saling mengejar di bebatuan yang kering karena terik. Ada beberapa keluarga yang datang mengatasnamakan pekerjaan. Ada satu hal yang membuatku masih tercengang mengabaikan pagi, mengabaikan salam matahari, mengabaikan layar perahu warna biru dari kejauhan. Sepotong tubuh laki-laki bertopi dengan kepulan asap rokok dan batuk kecil, yang tak mengangguku sama sekali karena aku sedang menulis. Ia tak sadar, laki-laki itu yang kupikirkan. Saat ini, saat segalanya mulai panas dan kami ditemani sepasang minuman dingin.

            Kami tak pernah banyak bicara. Sejauh ini hanya pertemuan yang kami lakukan, tanpa basa-basi tentang perbincangan tak penting. Ia lebih banyak diam. Bahkan, untuk hari ini pun, ia lebih memilih membiarkan perempuan di depannya menulis daripada menghabiskan waktu dengannya, mungkin ini pertemuan terakhir kami.

            Aku tak ingat kapan pertama kali kami bertemu. Sudah sangat lama, bertahun-tahun lalu. Aku hanya ingat betapa Ia mencintaiku lamat-lamat. Laki-laki dengan kepulan asap rokok yang mengaburkan wajahnya. Entah apakah pertemuan kami yang terlambat, atau kalimat kami yang terlalu sering ditunda. Sampai akhirnya aku dan dia hanya bisa melalui kebersamaan beberapa kali saja. Sampai akhirnya Ia memutuskan untuk tak di sini.
            “Kau sungguh-sungguh ingin pergi?”
            Laki-laki itu mengangguk pelan sementara aku tak bergeming.
            “Kenapa baru kali ini kau ingin pergi?”
            “Karena baru kali ini juga kutemukan alasan kuat untuk meninggalkan kota ini.”
            “Apa itu juga karena aku?”
            “Tidak.”
            Mungkin kami terlambat. Sejak awal menyadari, tapi terlambat untuk saling memiliki. Samapai akhirnya kisah dan kerinduan kami hanyalah sehelai daun kering yang diterbangkan angin, diombang-ambingkan laut yang senantiasa bergerak. Sehelai daun kering seperti kisah kami yang tak pernah sampai pada ending-nya. Sejak dulu Ia memilih bungkam. Sejak dulu aku juga memilih untuk menunggu Ia menyatakan. Tapi, waktu tak mempertemukanku pada harapan itu. Justru waktu mempermainkan kisah kami dengan sebaris orang-orang baru, yang jatuh cinta dan pergi, yang lebih dulu membahasakan kalimat indah sebelum kudengar dari laki-laki itu. Laki-laki yang kali ini masih duduk berteman asap di depanku.
            Bagiku, tak ada satu pun hal stagnan dan tak berubah. Pantai saja bisa menyempit karena tersapu pasang. Malam bisa mendung, bisa pula meriah karena bintang. Bulan pun dapat berubah dari sabit ke purnama. Maka kisah kami yang terpenggal sekian tahun yang kupikir akan hilang, justru menulis halaman baru di titik lain, di kisah lain, pada keadaan yang sesungguhnya sama sekali tak kuharapkan.
            “Kapan kau akan pergi?”
            “Beberapa minggu lagi.”
            “Secepat itu?”
            “Aku tak punya pilihan lain untuk menundanya. Bukankah kau senang karena akhirnya aku mau merubah pola pikirku.”
            Aku senang padamu Laki-laki bertopi. Aku senang kau di sini. Aku senang karena akhirnya kaukatakan tentang semuanya.
            “Kau pernah bilang bahwa aku tak punya masa depan. Karena aku begini, karena itu. Aku benarkan kata-katamu.”
            Tapi masa depanmu tak mesti dengan cara kau menjauh dariku.
            “Aku bisa apa? Aku takkan mampu berubah bila tetap di sini. Kau bilang aku tak boleh berteman dengan teman-teman lamaku. Bagimu, pergaulanku tak benar. Kurekam segala komentarmu malam itu.
            Ya. Malam. Malam itu pertama kali kutemui kamu setelah sekian lama kita tak bisa saling bertatap. Malam itu kau dekat, wajah kita saling mendekat. Kau lupa?
            “Aku pun ingin berubah. Aku sadar segalanya mesti kutinggalkan.”
            Tapi, kenapa setelah semua kedekatan itu, kau membalik arah dan akan meninggalkanku?
            “Aku lakukan ini demi kau. Akan kutinggalkan segala yang tak kausukai dariku. Aku pergi meninggalkan jalan lengang yang hitam. Dan, aku beharap kau masih berdiri di sini saat kuputuskan untuk pulang.”
            Aku diam. Entah sudah berapa lama Ia bicara padaku. Aku hanya akan menjawabnya dalam hati.
            “Jadi pagi ini, kita hanya akan berkisah tentang perpisahan?”
            Laki-laki itu diam. Kembali diisapnya sebatang rokok yang baru saja menyala.
            “Aku takkan meninggalkanmu. Kau di sini,” laki-laki  bertopi kini menunjuk pada hatinya.
            “Kamu hanya akan membenamkanku di situ?”
            “Karena hanya hatiku yang jadi tempat paling aman untuk tak kehilanganmu.”
Mataku berkaca. Aku lupa tak membawa sehelai tissue untuk menjaga sepasang mata agar tak basah.
            “Ini menyakitkan.” Kupukul Ia berulang-ulang. Kali ini laki-laki itu tak lagi di depanku dengan jarak beberapa meter. Kami sangat dekat. Aku ingin menghalanginya untuk tak pergi lagi.
            “Kau pernah pergi. Kenapa mesti mengulangnya lagi?” tanyaku.
            “Aku tak pernah pergi. Kau yang sibuk dengan perjalanan hidupmu sampai akhirnya kisah kita lampus disapu waktu.”
            Ya. Laki-laki itu benar. Aku lah yang pergi.Tapi bukankah sudah kukirimkan kabar tentang harapku pada beberapa teman dekatnya? Bukankah sudah kukatakan bahwa aku juga menginginkannya? Ia tahu. Laki-laki itu salah besar, memutuskan untuk menunda kalimatnya dan membiarkanku pergi dengan anggapan berbeda tentang Ia.
            “Sudahlah. Aku pasti kembali. Kau tak perlu takut kehilangan.”
            Kau mencoba menenangkanku? Kau lupa dengan segalanya. Kau lupa kedekatan kita dan semua kisahnya lebih dari sekadar aku takut kehilangan. Kau lupa?
***

            Matahari masih terik. Sementara kami kembali memilih diam dan tak lagi bicara. Mataku sembab, tangisku terisak. Laki-laki bertopi hanya melihatku dari dekat. Menatap sepasang mataku yang barangkali memerah dan bengkak. Aku sedang tak ingin bicara. Kupilih menatap biru laut dan biru langit yang tak sama kadarnya. Mungkin hati kami juga berbeda, tak sama cintanya, rindu kami pun tak sama kadarnya. Ia mencintaiku, aku mencintainya, kami memuaskan cinta kami dengan cara yang berbeda.
            Aku tahu, ombak saja takkan selamanya berdiri di situ. Ia akan pergi dan bergantian dengan ombak baru. Ia akan pasang dan surut. Bulan pun takkan menemani laut biru sepanjang waktu. Ia hanya akan datang malam hari. Ada kalanya sabit, ada kalanya purnama, bahkan tak bisa datang sebab mesti mengalah pada mendung dan hujan.
            Kami mulai bicara pada minuman dingin yang terperangkap dalam gelas masing-masing. Kami telan mimpi dan harapan bersama dengan minuman dingin yang kami teguk. Kupandangi Ia yang masih saja diam. Aku memilih merindukannya dan menyampaikan pada gelas yang berkeringat karena embun. Kupikir, tak ada salahnya bila Ia pergi. Ia pergi sebagai bulan sabit, semoga kembali sebagai purnama yang tak lagi kalah melawan mendung. Ia pergi bersama dengan surut laut, semoga kembali dengan pasang yang selalu menang pada angin darat.
            Aku hanya akan mendoakan. Kami memutuskan untuk melepas tangan. Dan memasrahkan pada takdir, ada tangan Tuhan yang mengatur jalan kami masing-masing
***

Laki-laki bertopi masih di depanku. Dengan kepulan asap rokok yang menutupi wajahnya. Aku memilih duduk di hadapannya. Menulisnya dalam kata, dan memikirkannya lebih banyak lagi. Ini hari terakhir di bulan Maret. Barangkali ini juga pertemuan terakhir kami sebelum kulepas Ia menjadi sepotong bintang yang bersinar.
            Berbahagialah. Laki-laki bertopi, aku mendoakanmu.
Redaksi

Redaksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.