Oleh Marlutfi
Yoandinas
Dimuat
di Buletin Kampung Langai 3
5-6
Agustus 2016
Judul ini sengaja saya sitir dari judul buku karangan Cak Nun,
"Indonesia Bagian Dari Desa Saya." Buku yang menyinyiri dinamika
masyarakat desa karena sudah hilang kedesaannya. Mengkritik agenda-agenda
kekuasaan yang dengan sistematis ingin mengubur pesona kehidupan desa. Dalam
arti mengubur keberagaman nilai-nilai kultural untuk kemudian
diseragamkan.
Agenda tersebut besar sekali dampaknya pada pembentukan mentalitas
menjadi seragam. Buktinya jelas, dengan menjamurnya stereotipe: kampungan,
udik, ndeso, pelosok, pinggiran, tertinggal dan sebagainya. Kemudian
dipertentangkan dengan citra baik: kota, pusat atau maju.
Jamak kita jumpai orang-orang yang cara berpikirnya sebatas
menilai baik-buruk atau maju-tidak maju. Padahal kalau kita telisik realitanya,
fenomena kampung menjadi kampungan seringkali dikarenakan ulah kekuasaan yang
tidak amanah dan tidak adil.
Pernah di suatu kesempatan, setelah saya memutuskan menetap di
kampung halaman Situbondo, diberi saran oleh seseorang, "ikan laut tidak
akan bisa bertahan hidup ketika diceburkan di sungai, pun
sebaliknya."
Tentu saya merasa terteror dengan saran itu. Bukan dalam arti
takut, tetapi menyayangkan karena orang itu telah membandingkan saya dengan
ikan. Selebihnya, semakin membuktikan bahwa alam pikir orang itu telah begitu
suram, Hitam-Putih.
Keber-ada-an Kampung
Langai
Kampung Langai berada dalam wilayah Kabupaten Situbondo. Salah
satu kabupaten dari 122 kabupaten di Indonesia dan salah satu dari 4 kabupaten
di Provinsi Jawa Timur yang ditetapkan sebagai daerah tertinggal berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 131 Tahun 2015.
Sebagaimana daerah tertinggal, bisa dipastikan identik dengan
daerah yang nir-prestasi. Akan lekat membekas sebagai daerah yang berpredikat
jongkok, sampai Presiden Republik Indonesia mencabut predikat daerah tertinggal
di peraturan yang beliau buat.
Realita Kampung Langai
Realita Kampung Langai hari ini berbeda dengan
sebelum-sebelumnya. Sudah tiga tahun berturut-turut anak muda lintas komunitas
bersatu padu membuat gelaran seni bertajuk Festival Kampung Langai. Suatu ajang
ekspresi kreatif yang menjadikan Kampung Langai sebagai hulu dari
komunitas-komunitas anak muda Situbondo.
Bukan untuk mengejar kegagahan estetika, apalagi ingin sekadar
pencitraan atau riya'. Terus terang kami tak mampu (tak punya kekuasaan apalagi
uang) untuk menonjol-nonjolkan diri atau foto diri, kecuali di media
sosial.
Lebih baik kami berkarya. Tak bisa berkarya sendiri, kami ajak
kawan-kawan. Karya kami dinilai jelek, tak apa, cukup peluk pacar selesai semua
derita. Kalau toh tak punya pacar, barangkali di Festival Kampung Langai bisa
dapat bribikan. Apes-apesnya kembali
ke mantan juga boleh lah.
Pertanyaannya kemudian, setelah melihat realita Kampung Langai,
tegakah Indonesia memperlakukan Kampung Langai dan kampung-kampung lain di
Nusantara dengan memberinya predikat kampungan?
Kalau tidak: Alhamdulillah.
Kalau iya: patennang, di Kampung Langai kami tahu
cara berbahagia.
Sumber Foto : Panitia Festival Kampung Langai 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar