Sebuah Catatan perjalanan
ditulis oleh
“Cobalah berkenalan dengannya. Itu yang harus mulai kamu lakukan. Meski nanti semakin kamu mengenalnya, ia akan semakin asing. Tapi tak mengapa. Memang begitulah ia adanya. Setidaknya kamu mulai belajar mengenal dengan menapakinya,” saya teringat pesan Nyo sesaat sebelum memulai pendakian malam itu.
Bersama tujuh orang teman, saya bersiap melakukan pendakian malam menuju puncak gunung Putri. Tempatnya di daerah Pecaron, sebelah Barat kota Situbondo, dengan ketinggian di atas seribu meter dan perkiraan waktu tempuh empat sampai enam jam.
Saya menyebutnya gunung Putri karena saat dilihat dari kejauhan, di arah Timur atau Barat, gunung itu menyerupai wajah perempuan yang sedang tidur. Orang-orang Situbondo memiliki beberapa nama untuk menyebut gunung Putri. Ada yang menyebut gunung So’onan, gunung Ringgit, gunung Agung, atau gunung Putri Tidur.
Saat masih kecil dulu, ada tebak-tebakan yang begitu populer di kalangan anak-anak Situbondo. Tebakannya, gunung apa yang tertinggi di dunia? Jawabannya, gunung Putri Tidur. Alasannya, tidur saja setinggi itu, apalagi berdiri. Tentu bagi anak kecil tebak-tebakan itu masuk akal.
Di antara kami berdelapan, ada dua orang yang sudah sering mendaki ke sana. Imam bertanggung jawab memimpin perjalanan di depan dan Gardy bertugas menyisir di belakang. Enam teman lainnya dikawal menapak jalur pendakian untuk mencapai puncak.
Setelah pemanasan ala kadarnya dan memanjatkan doa, pukul 21.30, langkah pertama mulai dijejakkan. Perkiraan pukul 03.00, kalau tidak ada aral-rintang sudah bisa mencapai puncak.
Senter penerang memecah gelap malam. Canda-tawa terlepas bebas dari masing-masing kami. Suara-suara serangga dan beberapa hewan lainnya mengiring perjalanan. Langkah kami kian menjauhi riuh suara lalu-lalang kendaraan di awal pintu masuk pendakian. Perlahan tapi pasti, dengan penuh keyakinan, puncak akan teraih.
Disaksikan bulan, lambat laun seiring bergulirnya waktu. Derap langkah mulai beradu keras dengan suara nafas yang sudah tersengal satu-satu. Dingin pun mulai sirna dari tubuh, berganti keringat deras mengucur basah menembus jaket.
Persis seperti yang dikatakan Gardy saat mulai pendakian, “nanti kira-kira lima belas menit pendakian, jaket dibuka saja ya. Tidak baik kalau baju dan jaket basah karena saat di puncak badan akan terasa dingin sekali oleh basah keringat,” ia mengingatkan.
Perjalanan terus mendaki. Batu-batu berukuran besar berserak memaksa kami berhati-hati dalam melangkah.
Lalu, setelah berhenti sejenak yang ketiga kali, sambil tersandar di batu, tiba-tiba terdengar suara muntahan. Yoan muntah, isi perutnya tersembur. Yoan mengaku betis dan pahanya mengeras, merambat menuju perut. Pandangan matanya berkunang dan pening menjalar ke semua bagian kepalanya. Ya begitulah kira-kira prosesnya sampai ia muntah.
Maklumlah, Yoan hanyalah pendaki amatir. Ia sering mengaku anggota aktif Purpala (pura-pura pecinta alam) dan tidak seberapa suka mendaki gunung yang keras berbatu, katanya.
“Wah, itu Yoan masuk angin. Tapi gak masalah nanti selesai muntah pasti akan baikan,” kata Agus meyakinkan.
Benar, setelah cukup beristirahat, perjalanan bisa dilanjutkan kembali.
Sekira satu jam lebih pendakian, sampailah ke tempat pasarean. Di sana terdapat beberapa rumah pondokan dan makam. Pasarean biasa didatangi oleh orang-orang untuk nyabis. Sebuah ritus religi, berdoa sembari bersilaturahmi. Berdoa di makam dipimpin oleh juru kunci, lalu setelahnya bersilaturahmi dengan juru kunci. Juru kunci pasarean yang kami kenal bernama haji Taufik.
Karena sudah larut malam, di pasarean tampak sepi, tak ada penghuni selain rombongan kami. Imam menyarankan untuk beristirahat selama tiga puluh menit.
“Botol minum yang sudah kosong, diisi ya. Nanti ke atas tidak ada air lagi,” tambahnya.
Memang perjalanan berikutnya lebih panjang lagi. Mencukupkan istirahat dan mengisi air minum di pasarean akan sangat bermanfaat sekali untuk bekal ke puncak.
Jalur pendakian setelah pasarean menuju puncak semakin menanjak. Ada beberapa jalur menyempit dan terjal bertubir jurang. Menjaga kehati-hatian, konsentrasi, dan saling membantu antar teman adalah suatu keharusan agar tetap selamat.
Di tengah-tengah jalur pendakian, antara pasareanmenuju puncak, terdapat tempat peristirahatan. Tanahnya lapang dikelilingi pepohonan. Kami pun beristirahat lagi di sana.
Imam dengan sigap mengumpulkan ranting dan membuat api. Lalu, menyiapkan panci untuk masak air. Tak lama air mulai mendidih, bubuk kopi diracik dengan tambahan beberapa sendok gula. Ia memang mengerti betul bagaimana cara memperlakukan kami, teman-temannya.
Setelah semua mencicipi kopi bergiliran dari satu gelas yang sama. Wiuh, seakan rasa capek, kerisauan, dan pekatnya malam berangsur berganti. Berganti sesuatu yang tak bisa diungkapkan kata-kata, walau sekedar untuk dituangkan dalam tulisan ini. Kata-kata begitu jauh bersembunyi.
Entahlah, kopi rasa apa itu!?
Setelah puas dengan sajian kopi racikan Imam, kami mendaki lagi. Tentu dengan penuh harapan untuk segera meraih puncak.
Tanpa sadar, pertanyaan-pertanyaan semakin banyak muncul dari beberapa teman,
“sudah dekat apa masih jauh?”
Imam dan Gardy pun menjawab sekenanya,
“sudah dekat!”
Jawaban yang cukup membuat tenang, kecuali Jo dan Eka yang tak mudah percaya begitu saja. Bagi mereka jawaban itu tak ubahnya “gombal pendaki”. Meskipun masih jauh akan dikatakan dekat. Hal itu biasa dilakukan senior pada yuniornya atau yang berpengalaman dan yang tidak. “Tujuannya sih baik agar mental tetap terjaga, cuma caranya dengan menggombal,” kata keduanya saling membenarkan.
Kemudian, sampailah kami pada jalur yang dipasang tali tamparuntuk alat bantu pendakian. Selain tali tampar, ada juga tangga besi. Tangga digunakan untuk melintasi tebing terjal dengan sudut kemiringan hampir sembilan puluh derajat.
Satu per satu kami menaiki tangga. Terasa gemetar hebat pada kaki dan paha. Tapi tak satu pun di antara kami yang goyah. Karena setelah menaiki tangga pertama, ada bonus yang didapat. Gemerlap lampu mulai tampak dari ketinggian. Memanja mata dan memberi pengalaman baru bagi teman-teman yang pertama kali mendaki gunung Putri. “Indahnya pemandangan Situbondo dari ketinggian,” seru sebagian teman.
Kemudian sampailah di tangga kedua dan ketiga. Pertanda kami sudah selangkah lagi untuk mencapai puncak gunung Putri.
Jam menunjukkan pukul 03.40, puncak sudah kami tapaki. Ada kelegaan dan senyum sumringah di wajah teman-teman. Mata begitu leluasa melihat luasnya pemandangan ke depan, juga di sebelah kanan dan kiri. Lampu-lampu tambak, kerambah, dermaga, perahu nelayan, pemukiman, kota, jalan raya, dan PLTU Paiton kerlap-kerlip menyala terang.
Rencananya kami akan memasang bivak di mulut gua. Tapi urung dilakukan karena dalam gua sudah ada dua orang laki-laki yang sedang tidur. Keduanya adalah petapa. Kami pun memutuskan untuk naik sedikit lagi ke puncak. Puncak gunung Putri tidak memiliki tempat yang lapang. Permukaannya terjal, hanya bisa digunakan untuk duduk atau sekedar rebahan.
Di sana juga ada makam dengan tumpukan batu yang bertudung dan ditutup kain lapuk. Terdapat nama-nama orang yang ditulis di sekitar makam. Ditulis di batu, seng penutup tudung, dan kayu penyangga tudung. Persis di atas makam juga terdapat banyak kartu tanda penduduk (KTP), baju, bahkan kupon undian yang ditinggal begitu saja. Entah apa alasan orang-orang itu melakukannya. Di salah satu sudut tudung terdapat batang bambu untuk memancang bendera. Sayangnya bukan bendera merah putih, tapi bendera partai.
Karena masih dini hari, Imam kembali membuat api unggun. Selain untuk menghangatkan badan, juga dimanfaatkan untuk membuat kopi. Sembari ngopi, kami menyantap bekal makanan dan saling berbagi satu sama lain.
Di arah timur, sebelah kanan tempat saya duduk, terlihat tampias warna langit mulai nampak bergaris terang kemerah-merahan. Pertanda pagi segera menyingsing. Beberapa teman mulai mengabadikan momen tersebut dengan kameranya sampai puas. Ada pula yang selfie.
Kebetulan saat kami mendaki, langit sedang cerah. Bertepatan dengan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke 69 tahun.
Matahari terbit berwarna merah bulat, perlahan tersingkap di balik selimut embun yang mulai turun. Tanpa sedikit pun awan menghalangi. Seakan matahari mengerti, ini adalah hari yang spesial bagi warga negara Indonesia. Termasuk kami yang mendapat kesempatan menikmati matahari terbit pertama kali di hari bersejarah, di puncak gunung Putri.
Hangat matahari mulai terasa. Pemandangan di laut dan daratan yang awalnya samar-samar sudah semakin jelas. Bekal makanan sudah habis disantap. Kepuasan menikmati alam sudah mencapai batas. Kami pun bergegas turun dengan sisa air untuk minum.
Perjalanan turun harusnya tidak selama saat mendaki. Setelah kami istirahat sejenak di batu Ampar (batu besar dengan permukaan datar). Yoan mengalami cidera pada lututnya. Langkahnya tertatih-tatih sehingga perjalanan turun membutuhkan waktu cukup panjang.
Sesampainya di pasarean, kami melepas lelah. Tidur di pelataran salah satu rumah pondokan. Maklum semalaman kami belum tidur sama sekali.
Karena hari itu bersamaan dengan hari libur. Di pasareanbanyak orang datang untuk nyabis. Semua ada, baik orang tua, anak-anak, bahkan balita juga. Mereka lalu-lalang di sekitar tempat kami tidur.
Setelah se-jam istirahat, rasa capek pun berangsur hilang, berganti rasa lapar yang mulai menyerang hebat. Tandanya harus segera turun dan makan di warung.
Saat hendak pamitan ke haji Taufik, kami dilarang turun karena sudah disiapkan makan. Haji Taufik menjamu kami sama dengan tamu-tamunya, disuguhi makan.
Tanpa basa-basi, kami makan dengan lahap di ruangan tempat haji Taufik menerima tamu-tamunya. Tentu saja cara kami makan disaksikan oleh haji Taufik dan tamu-tamunya. Tapi tak kami hiraukan, karena serangan rasa lapar hanya memfokuskan perhatian pada makanan. Itu pun saya sadari setelah selesai makan.
Makanan yang disediakan telah tuntas kami lahap, wadah piring dan lain-lainnya sudah dirapikan. Haji Taufik pun mulai membuka pembicaraan pada rombongan kami. Bertanya kabar yang diselingi candaan renyah. Tak banyak yang kami perbincangkan dengannya, karena tamu terus berdatangan untuk nyabis.
Satu hal yang saya ingat kata-kata haji Taufik sebelum kami memutuskan SMP (setelah makan pulang).
“Ini rombongan teman-teman pecinta alam yang cinta pada alam. Tapi saya tidak tahu, apa mereka sudah mencintai terlebih dulu pada sang pencipta alam, sebelum pada alam ciptaannya,” ucap haji Taufik dan tentu saja mengundang tawa semua orang yang berkumpul di ruangan itu.
Ia menambahkan, “saya hanya bercanda, jangan sampai menyinggung hati adik-adik sekalian ini. Karena bagi saya, adik-adik ini sudah dewasa dan mengerti. Sudah tidak perlu diatur-atur lagi, kecuali anak kecil yang masih perlu diatur dan diarahkan. Bagi saya keyakinan adalah Lakum Dinukum Wal Yadin. Jadi harusnya keyakinan tidak membawa kita pada perbuatan fanatik,” ujarnya yang membuat saya terperangah dalam diam.
###
Begitulah akhir pendakian saya bersama teman-teman ke gunung Putri. Melewati jalur pendakian terjal berbatu. Meraih puncak. Melihat dan memotret pemandangan alam dari ketinggian. Menikmati matahari terbit pertama kali saat hari kemerdekaan Republik Indonesia. Berkenalan dengan haji Taufik. Melihat kebiasaan orang-orang nyabis dan lain sebagainya.
Bagi saya, mendaki gunung Putri adalah upaya untuk mengenal Situbondo. Selama ini, saya hanya melihat gunung Putri dari kejauhan, begitu pula Situbondo. Belum benar-benar menapak atau menjejakkan kaki di sana.
Mungkin Nyo benar, untuk mengenal Situbondo, saya harus sungguh-sungguh belajar menapakinya. Haji Taufik pun secara tersirat telah memberi pengetahuan tentang cara berpikir orang-orang Situbondo yang religius, suka bercanda, suka menasehati satu sama lain, dan tak mudah menyinggung perasaan orang lain. Di sisi lain, saya pun belajar banyak dari teman-teman sependakian yang telah memberi arti tentang kebersamaan. Tabik []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar