Social Media Sharing by CB Bloggerz


a
a
a
a

Recent Posts
recent

Perempuan dan Sekeping Memori


Tuhan adalah yang maha memberi teka-teki. Dan Tuhan pulalah yang maha memberi jalan keluar atas teka-teki yang dirasa tak memiliki jalan keluar.

Perempuan tua itu membuka almari di hadapannya. Almari itu memekik, memperlihatkan usianya yang juga tak lagi muda. Perempuan itu sedikit terbatuk. Ditutupnya hidung dengan tangan kiri, sedang tangan yang lain mencari-cari sesuatu di dalam almari. Setelah beberapa lama berselang, ditariknya keluar sebuah kebaya putih dari dalam almari. Ia tersenyum puas.

“Ini nduk, kamu pakai waktu akad,” katanya pada perempuan di sebelahnya.

“Benar, bu? Wah, aku suka sekali,” jawab perempuan itu.

Perempuan itu mematut diri di depan kaca, mencobakan kebaya di tubuh mungilnya. Kebaya itu agak sedikit lebih besar dari badannya, namun tak mengurangi kecantikannya.

“Nduk, kamu benar-benar mau menikah?” Perempuan tua itu bertanya.

Yang diberi pertanyaan terdiam kemudian tersenyum.

“Ibu ingin tahu mengapa aku mau menikah dengannya?”

Perempuan tua itu mengangguk. Menunggu.

***

Apabila hujan adalah air mata langit, maka izinkanlah aku untuk menghapus dukanya barang semenit saja, agar tubuh lelaki di depanku tak menggigil kedinginan, menahan tempias air hujan yang mulai brutal. Aku dan lelaki ini menantang basah yang sedemikian rupa menyerang, demi tiba di rumah sebelum jam sepuluh malam.

“Kasihan Ibu, pasti cemas menunggu. Aku pun telah berjanji akan mendaratkanmu dengan selamat di rumah sebelum pukul sepuluh. Tahan sebentar ya,” katanya.

Aku hanya mengangguk mengiyakan. Ragu sebenarnya, bukan karena aku lemah, atau takut berubah menjadi putri duyung ketika tersentuh air. Namun, tubuh lelaki ini terlampau memesona untuk menahan serangan radikal air hujan.

Ah, berbicara tentang lelaki ini, aku kembali teringat kepadamu.

Harusnya kau yang berada di depanku saat ini.

Hanya saja, mungkin kau terlampau sibuk kali ini. Ya, kau masih lelakiku yang paling sibuk sedunia.

“Kau main hujan?” tanyamu pertama kali ketika aku sampai di kamar. Tiba-tiba saja kau sudah di sini. Kau terlihat tampan dengan kaus berwarna biru muda. Seperti biasa.

Aku merebahkan diri di kasur. Meletakkan handuk yang kugunakan untuk mengeringkan rambut dengan sembarangan. Kau memungutnya disertai geleng-geleng kepala.

“Kau masih saja seperti ini. Sembarangan. Kemarilah, kukeringkan rambutmu,”

Aku mendekat padamu. Aroma parfum cokelatmu merebak. Tak tahan aku untuk tak memelukmu. Kau tersenyum. Memandangku lekat-lekat.

“Aku masih mencintaimu,” katamu kemudian.

“Akupun,” jawabku.

Kemudian aku memejamkan mata. Kau tahu apa yang seharusnya Kau lakukan. Bibirku mendadak hangat dan basah.

***

Ini gila! Ini benar-benar gila! Lelaki itu akan meminangku dalam dua puluh hari? Yang benar saja!

Aku mengaduk-aduk es teh di depanku. Aku masih sedikit geram. Kau tersenyum di hadapanku. Memandangku lekat-lekat. Aku melotot padamu.

“Jangan senyum-senyum saja!” bentakku.

Kau makin tertawa. Memperlihatkan deretan gigi putihmu yang mempesona.

“Kau lucu. Ada yang akan melamarmu, kau malah marah-marah,”

Aku mencubit tanganmu

“Memang aku secepat itu bisa ditaklukkan? Dua puluh hari? Mana mungkin!” jawabku.

Kau membalas mencubit pipiku.

“Kau memang perempuan yang tak mudah ditaklukkan. Mudah terbang kesana-kemari. Hanya saja, aku sangat berterimakasih kepada siapa saja yang akhirnya mencuri sayapmu sehingga kau tak dapat terbang kemanapun ketika bersamaku.”

Aku tersenyum. Kau selalu bisa menaklukkanku. Dengan apapun yang ada pada dirimu. Termasuk setiap kata-kata yang meluncur dari bibir yang selalu kuinginkan setiap hari.

Lelaki itu merapikan anak rambut yang menggantung di dahiku. Dirapikannya pula selimut rumah sakit yang menutup tubuhku beberapa hari ini. Aku menggeliat perlahan. Tersenyum padanya. Hari ke delapan belas sebelum hari ke dua puluh. Aku terbaring sakit di tempat ini, setelah dua hari aku hampir seperti zombie. Kau masih belum terlihat menjengukku. Terakhir kali aku melihatmu, ketika kau berkata di samping tempat tidurku, bahwa kau akan pergi sebentar, ada urusan yang harus kau selesaikan segera. Ah, kau memang selalu saja sibuk.

Lelaki itu yang setia menemaniku, tentu saja selain Ibu dan Bapak, yang mendoakanku dengan khusyu setiap malam-malam mereka. Aku tau ia sangat sibuk, pekerjaannya menumpuk, telepon genggamnya tak berhenti merutuk. Namun setiap aku membuka mata, dirinyalah yang pertama kali kulihat di pinggir tempat tidurku.

Ah, lelaki itu. Aku jadi ingat janjinya melamarku pada hari kedua puluh. Entah, apakah aku terlampau memikirkannya, atau karena mataku merekam semua tentangnya, tidurpun aku bermimpi tentang lelaki itu. Ya, aku memimpikannya.

Dalam mimpiku, ada lelaki itu, kau, dan aku. Kau terlampau sering singgah di mimpi-mimpiku, bahkan pada kenyataan-kenyataan serta angan-angan. Namun, lelaki itu, pertama kalinya ia menembus bunga tidurku. Aku dan kau sedang berbicara mengenai langit yang tiba-tiba lebam. Kemudian lelaki itu datang, menepuk pundakmu. Dan kau, dengan santai menyapa lelaki itu, dan mempersilakan lelaki itu menggantikan tempatmu, dihadapanku. Dan anehnya, aku, yang bahkan tak ingin sedetikpun tak bersamamu, menerima lelaki itu dengan baik. Bahkan perbincangan tentang langit yang lebam terus berlanjut. Seolah-olah tak ada pergantian pemain. Mimpi yang aneh. Aku tak mengerti.

“Jangan banyak melamun,” lelaki itu mengagetkanku.

Aku tersenyum.

“Terimakasih, sudah selalu ada untukku,” kataku.

“Tak usah berterima kasih. Ibarat rumah, aku adalah atap tempatmu berlindung dari serangan matahari yang licik, serta hujan yang terlampau radikal,”

Aku dan lelaki itu saling bertatapan.

Dan kami berdua saling memagut dan terus memagut dan memagut.

***

Aku sangat gelisah. Bahkan aku tak sampai hati melihat pakaianku basah oleh keringat yang membabi buta. Aku menunggumu. Namun kau tak kunjung datang. Apakah lalu lintas sebegitu padatnya? Aku masih ingat, hari ini adalah hari yang sellau kita rayakan bersama. Entah dengan atau tanpa kejutan. Entah dengan atau tanpa hadiah kecil-kecilan. Pelayan cafe ini sudah menawarkan tiga minuman yang berbeda, tapi kau tak kunjung datang.

Lalu aku mengingat sesuatu.

Yang harusnya tak akan aku lupa.

Selain perayaan ini.

Aku terdiam dan menangis dan meracau dan histeris dan memeluk lelaki itu kuat-kuat. Kami berdua berpelukan.

Samar-samar aku melihat sosokmu di balik kaca cafe yang transparan.

Tersenyum lantas mengacungkan jempol padaku.

Samar-samar pula aku melihat bibirmu mengucap sesuatu,

“Selamat menempuh hidup baru.”

***

Kau pasti terlampau sibuk di surga. Mengamati aku dan lelaki ini dari jauh.

Aku baik-baik saja. Aku terlampau baik-baik saja. Aku tahu amanat tak pernah salah pundak. Aku tahu kau telah memilih lelaki ini untuk mendekapku ditengah badai, serta menyejukkanku ketika matahari sedang merajai.

Aku percaya bahwa lelaki ini kelak yang akan mengazani aku-aku kecil yang lahir dari rahimku.  Dan aku tak tahu alasannya.

Sementara aku percaya, bahwa kau dan Kau yang menganugerahkannya padaku.

***

“Nduk? Kok diam saja?” perempuan tua itu menepuk pelan pundak anaknya. Perempuan yang ditepuk pundaknya kaget. Tapi buru-buru ia tertawa.

“Maaf, Bu. Aku kangen Mas Heri,” jawabnya malu-malu.

“Wah, dasar, yang mau menikah. Lalu kapan kangen ibu?”

Mereka berdua tertawa.

“Nduk, ibu mau tau alasannya,”

Perempuan itu terdiam.

Kemudian ia menjawab, “Bahkan aku tak akan mencari sekalipun ada alasannya, Bu. Aku tak mau menemukannya,”

Kemudian keduanya tersenyum. Lelaki beraroma cokelat di sudut kamar ikut tersenyum.

Malang, 21 Januari 2015.


Redaksi

Redaksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.