Social Media Sharing by CB Bloggerz


a
a
a
a

Recent Posts
recent

Baung dan Segenap Dendam Amerta

“Lalake padhena emas pak lekoran karat.[1]”                  
            Sepertinya ungkapan tersebut tepat menggambarkan keadaan Sadiyani saat ini. Sebagai seorang kembang desa yang tak memiliki aroma menarik kumbang. Ia seperti kehilangan mantra penggoda.  Rahman, lelaki yang telah lama menjadi incarannya tak kuasa ia taklukan.
Kisah mereka seperti pohon asam yang terletak tak jauh dari rumahnya. Dulu, di pohon tersebut. Bapaknya pernah mendongengi bahwa sebenarnya pohon asam tersebut sebenarnya ada dua. Yang satu berjenis kelamin laki-laki dan satunya lagi berjenis kelamin perempuan. Angin puting beliung kemudian menjadi pemisah antara keduanya, sekalipun masih terletak dalam satu desa. Pohon asam yang dinamakan Pemuda berada tetap berada di Karangsari, sedangkan yang bernama Pemudi dibawa ke wilayah Pesisir. Dan, bahkan hingga saat ini sisa bahwa pohon asam bernama Pemudi masih bertengger jelas.
Pun, sebagai seorang yang menyukai santapan dongeng para warga dusun Karangsari itu. Sadiyani berharap bisa menyempurnakan dongengnya. Namun, genggaman masa lalu kedua orang tuanya merusak segalanya.
*
Sepuluh tahun sebelumnya.
            Sadiyani kecil begitu hidup dalam gelimang harta. Awalnya kedua orang tuanya biasa-biasa saja dalam menghasilkan pundi rupiah. Ritual bersama baung-lah yang menjadikan mereka kaya semudah membalikkan telapak tangan.
            Baung yang dikenal sebagai hewan yang berkepala mirip anjing dan tubuh seperti manusia selalu menjadi hewan paling mematikan. Tak hanya bagi sapi atau kambing yang sering dihisap darahnya. Tapi, juga bagi warga yang tak sengaja menemui hewan tersebut. Pasti, keesokan harinya terkena sakit yang mungkin berakibat hilangnya nyawanya.
            Entah darimana asal-muasal dongeng tentang baung. Masyarakat di Kilensari-Panarukan masih percaya. Kalau baung identik dengan jelmaan orang yang meninggal dikarenakan arwahnya tak diterima oleh bumi. Biasanya macam-macam orang yang tak diterima bumi itu berasal dari mereka yang memiliki garis hidup hitam, seperti sewaktu hidupnya pernah menjadi bank harian atau istilah kerennya debt collector.
            Pun, ketika orang tua Sadiyani pergi ke dukun yang terkenal di desa seberang. Dongeng tersebut langsung dimanfaatkan oleh Mbah Dukunagar bisa keduanya menambah kekayaan.
            “Di rumah kalian. Baru saja ada yang meninggal kan?” tanya Mbah Dukun sambil memandang dupa yang berasap.
            “Bener, Mbah.”
            “Matena paningga mabudu’.” Vonis Mbah Dukun yang mengatakan jika orang yang meninggal itu karena melakukan tindakan debt collector semasa hidupnya.
            Kedua orang tua Sadiyani yang masing-masing bernama Jumadin dan Tomina itu mengangguk-angguk. Kemudian, bertanya dengan kompak, “Emangnya kenapa, Mbah?”
            Mbah Dukun yang memakai baju warna hitam dengan rambut keriting lebat tak langsung menjawab pertanyaan pasangan muda itu. Ia malah menyunggingkan senyum penuh arti. Serta, tawa yang begitu nyelekit. Melihat hal tersebut, Jumadin terpaksa menahan ludah. Sementara, Tomina menaikkan alis. Tanda keduanya bingung  dengan ekspresi dukun yang mereka datangi.
            “Kalian pulanglah. Nanti, malam akan tahu apa maksudku!”
            Tanpa berhahahihi keduanya langsung mengikuti titah Mbah Dukun. Sesampainya di rumah ada sebuah hewan yang aneh, hewan jadi-jadian yang selama ini mereka takutkan.
            “Baung!” teriak Tomina.
            Jumadin yang awalnya takut, langsung menyumpal mulut Tomina dengan tangannya yang kekar. “Ini jawaban dari Mbah, Sayang.” Ucap Jumadin dengan menggunakan penekanan pada kata Sayang.
            Tomina langsung tersenyum. Ia langsung mengerti apa yang dimaksud Mbah Dukun. “Wow, hebat. Selama ini kita ketahui bahwa baung itu identik dengan orang meninggal yang tidak diterima arwahnya. Dan, kini kita menggunakannya sebagai media untuk mengeruk uang.”
*
Di tempat lain, keluaga Misnari masih dibalut duka. Bendera kuning yang ditancapkan oleh anak semata wayangnya. Tak jua menarik perhatian warga untuk mengunjungi rumah duka.
            Pun, warga yang seharusnya mengantar tubuh sang suami ke liang lahat. Tak ada satu pun yang bersedia. Kecuali Ustadz Herman dan Rahman, anaknya yang masih berusia SMP.
            Sungguh. Perempuan yang masih memiliki sisa-sisa ayu di balik wajahnya itu kebingungan tiada tara. Pun, sang anak yang bernama Supriono hanya bisa menanggung luka. Sepertinya warga di desanya itu masih geram dengan suaminya yang dulunya menjadi debt collector ganas.
            “Ini semua salah bapakmu. Kita yang ikut menanggungnya, Cong!” teriak Misnari pada Supriono ketika jejak-jejak langkah Ustadz Herman dan Rahmantelah hilang di dalam rumah duka.
            “Sudahlah, Mak. Tak baik membicarakan kesalahan Bapak. Apalagi, dia sudah meninggal.” Jawab Supriono berharap semua masalah yang membalut kepala ibunya itu hilang.
            “Dendam akan menjadi dendam. Tak mudah mengubah sejarah! Bapakmu telah menghitamkan sejarah keluarga kita!”
            “Tidak, Mak. Kita masih bisa mengubahnya. Sebentar lagi, aku akan wisuda. Emmak patenang.”Supriono mencoba menenangkan Ibunya.
            Detik bertalu. Keduanya masih disergap rasa bingung, muak, tapi memeras sabar. Agar keduanya terlihat tegar di depan pemerhati kenangan masa lalu keluarga.
*
“Kita harus hati-hati, Pak.” Ucap Tomina pada Jumadin.
            Lelaki yang memiliki tubuh tambun dan rambut lurus itu hanya menyungging senyum. Ia telah mempersiapkan segalanya dari dukun ternama itu. Mulai dari lilin dan sederet alat-alat untuk melakukan pesugihan.
            Tepat saat purnama kedua belas muncul. Mereka langsung melakukan aksinya. Pertama, tubuh yang menyerupai baung itu langsung keluar dari belakang rumah mereka. Tak lupa Tomina mengucek tubuh baung dengan sayang, seolah-olah mengucek rambut anak kandungnya.
            Baung pun keluar dari pekarangan rumah dan langsung melanjutkan aksinya. Aksi pertama yang hewan itu lakukan adalah datang kepekarangan warga yang memiliki ternak. Dihisapnya darah beberapa ekor sapi. Lepas itu, ia seolah memiliki tenaga untuk terus melanjutkan aksinya.
            Pesugihan baung itu hampir sama dengan pesugihan babi. Bedanya hanya pada objek pesugihan. Baung pun pergi ke rumah-rumah orang kaya di desa, lepas itu menggosok-gosokkan tubuhnya ke tembok rumah-rumah orang kaya. Dan, hasilnya tepat jam satu pagi. Tomina yang menjadi pemerhati lilin mendapati beberapa gram emas dan uang puluhan juta.
            Misi hari pertama mereka sukses!
            Esoknya, peristiwa tewasnya beberapa hewan ternak langsung menjadi buah bibir warga. Mereka yang dulunya hidup tentram, kini berubah ketakutan.
            “Jangan-jangan ada baung.” Komentar bapak-bapak di tukang kopi.
            Sementara para kaum ibuyang sering menonton sinetron berharap jika yang mengambil darah hewan ternak itu adalah kawanan vampir, mirip seperti tayangan yang mereka tonton. Macam-macam vonis mereka. Yang akhirnya membuat remaja di sana menjadi bingung seketika. Tak terkecuali Sadiyani dan Rahman.
            “Ni, kamu tahu kan kematian hewan ternak itu?” tanya Rahman ketika pulang sekolah bersama Sadiyani.
            Gadis yang masih mengenakan baju putih-biru itu tidak menanggapi dengan antusias. “Itu bukan urusanku. Yang digigit kan hewan. Bukan manusia!”
            Rahman tak lagi melanjutkan pertanyaan pada Sadiyani. Keduanya menjadi kikuk, padahal biasanya pembicaraan antara keduanya begitu mengalir. Bak air yang mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah. Yang sesekali tersumbat, pabila ada sampah yang berserak.
            “Kau sekarang tidak seru, seperti dulu!” protes Rahman meski dalam hati.
            Di rumah, Sadiyani mendapat kejutan tak terkira dari kedua orang tuanya. Ia dibelikan baju baru, juga emas cincin dan gelang.
            “Ibu dan Bapak dapat dari mana uang segini banyaknya.” Kata Sadiyani takjub melihat barang yang begitu banyak dan mewah. Apalagi, kondisi di lingkungannya sedang dalam keadaan tidak ada ikan.
            “Ada tabungan, Sayang. Agar kamu bisa bergaya di sekolah.”
            Sadiyani kegirangan. Ia sampai meloncat-loncat di hadapan kedua orang tuanya. Melihat hal tersebut Tomina dan Jumadin begitu bangga terhadap hasil kerja kerasnya, toh yang terpenting adalah membagiakan anaknya. Soal dapat darimana itu urusan nomor dua puluh lima.
*
Malam harinya, baung itu kembali melakukan aksinya. Kini geraknya semakin waspada. Hewan yang memiliki kepala anjing itu kini melakukan aksi lebih luas. Hewan ternak yang menjadi objek hisapannya semakin banyak. Hal ini dikarenakan tenaganya yang harus benar-benar ber-stamina agar ia lebih bersemangat dalam menguras harta orang kaya.
            Seusai menguras darah puluhan ternak yang dimiliki beberapa orang itu. Baung kini mencoba pergi ke desa sebelah yang hanya dibatasi oleh sungai Sampeyan. Ia pun melakukan jarahan. Dan, seperti biasa tepat jam satu. Tomina yang menjadi pemerhati lilin telah mendapatkan beberapa rupiah.
            Namun, tiba-tiba lilinnya menjadi mati. Dan, si baung tak kembali lagi ke rumahnya. Tomina disergap rasa bingung tiada tara.
*
Pagi harinya. Panarukan kembali geger. Bukan karena nelayan yang tak mendapat ikan dari laut. Tapi, karena hewan yang meninggal semakin banyak.
            “Sepertinya ada yang ingin main-main dengan kita!” ucap Pak RT dengan nada tinggi.
            Lelaki berkumis lebat itu langsung mengadakan rapat agar diadakan rutinitas ronda yang selama ini telah lama hilang di dalam kawasannya. Banyak warga lelaki yang langsung menyetujui. Sedang, Jumadin yang juga hadir dalam rapat tersebut terpaksa mengatakan ‘iya’ karena tidak enak hati. Padahal, jauh dalam pikirannya. Ia begitu muak dengan adanya rutinitas ronda. Apalagi, hal itu akan berdampak pada melemahnya pendapatan si baung. Ngomong-ngomong tentang baung. Lelaki itu baru tersadar jika ia hewan piaraannya itu tidak kembali ke rumah. Beruntung, sesampainya lelaki berusia setengah abad di rumah. Ia mendapati Mbah Dukun yang sedang berbincang hangat dengan istrinya.
            “Kalian harus lebih waspada. Dan, jangan sampai baung ini pergi ke desaku lagi. Soalnya bisa gawat!” ucap Mbah Dukun was-was sambil memegang janggutnya.
Lelaki berusia enam puluhan itu. Kini, tidak memakai baju berwarna hitam gelap nan menakutkan. Namun, memakai sarung dan baju kokoh yang begitu memikat siapapun orang yang melihatnya. Termasuk Tomina.
            “Baiklah, Mbah. Berhubung kondisi desa sini yang tak lagi baik untuk dijarah. Saya akan membawa baung itu ke tempat lain.” Ujar Jumadin.
            Mbah Dukun tersenyum simpul. Sambil, sesekali memandang Tomina yang tampak menggairahkan di matanya.
*
“Auuuhh!”
            Suara longlongan mirip serigala sudah terdengar tepat jam dua belas malam. Pak RT yang memimpin sedang berkeliling desa bersama warga langsung merinding ketakutan, namun tiba-tiba ia tersenyum.
            “Itu suara baung, Pak.” Lapor seorang warga.
            Pak RT segera menyungingkan senyum. Di balik senyumnya, ia sudah bisa memprediksi bahwa suara baung itu tak lain jelmaan dari arwah suami Misnari  yang baru meninggal Minggu ini. Apalagi jika melihat sejarah bahwa suami perempuan beranak satu ia bekerja sebagai dept collector.
            Besoknya, Pak RT ditemani banyak warga lelaki segera pergi ke rumah Misnari yang tengah berbincang-bincang dengna Ustad Herman dan Supriono. Suasana pagi yang masih tak banyak aktivitas itu langsung berubah gaduh.
            “Sudahlah, Bu. Jangan ngeles! Pasti arwah suamimu tidak diterima Gusti Allah. Makanya, jadi baung! Sekarang Ibu harus tanggung jawab!” vonis Pak RT dengan intonasi yang begitu tinggi memaksa suasana berubah menjadi lebih panas.
            “Kalaupun suami saya jadi baung. Itu semua gara-gara warga yang tidak bisa memaafkan kesalahannya!” gertak Misnari tak mau kalah.
            “Saya mohon kepada para warga untuk tenang. Tidak baik menyelesaikan masalah dengan pikiran panas.” Nasihat Ustadz Herman, tenang.
            “Halah. Ustadz sok suci ini! Jangan mendakwah! Aku tahu maksudmu mendekati Misnari. Supaya bisa mendapatkan janda lelaki debt collector itu kan?!”
            Ustadz yang bersahaja itu segera berucap istighfar dalam hati. Tetapi, hal tersebut tidak memengaruhi sikap warga yang masih memerah rasa benci pada keluarga Misnari. Puncaknya, para warga langsung membakar rumah peninggalan dept collector itu dengan ganasnya. Tanpa ada sisa sedikitpun.
            Misnari hanya menjerit di tengah pelukan Supriono. Sementara, anak lelaki yang baru lulus kuliah itu hanya menahan rasa geram. Sambil berusaha menguatkan dirinya dan sang Ibu.
Tak sampai di situ, Ustadz Herman juga menjadi bulan-bulanan warga. Ia ditenggarai sedang melakukan zinah dengan Misnari. Pun, pengusiran didapat oleh dua keluarga tersebut.
*
“Ini sudah waktunya!” putus Jumadin ketika mengetahui tragedi pengusiran keluarga Misnari dan Ustadz Herman itu.
            “Bener, Pak. Apalagi warga sudah menjadi sedikit tenang. Itu artinya kita bisa menguras harta mereka dengan mudah. Sebab, tak lagi akan ada ronda.”
            “Kata siapa tidak ada ronda, Bu. Malah nanti malam. Jadwalnya bapak.” Ungkap Jumadin diiringi senyum oleh Tomina.
            “Kebetulan yang seru! Nanti malem rencananya, aku ingin menjarah rumahnya Pak RT yang terkenal cerrek itu. Nah, Bapak alihkan perhatian ya!”
            Malamnya, tepat jam sebelas malam. Para warga yang mendapat giliran untuk menjaga lingkungannya. Langsung tersebar di beberapa pos penjagaan RT. Para kaum bapak itu langsung menggelar domino dan menegak kopi sebagai penahan kantuk. Sementara itu, Pak RT yang baru bergabung langsung menekuk mukanya. Senyum lelaki pelit itu tak terlihat sama sekali.
            “Ada apa, Pak?” tanya Jumadin bermaksud berbasa-basi.
            “Begini lho, masak tadi ada beberapa warga yang merasa uangnya hilang. Bahkan, perhiasannnya. Duh, cettak pelengen!” ucap Pak RT memegang kepalanya yang katanya pusing. “Masak bisa baung ngambil uang. Kan tidak mungkin! Adanya baung ya cuma jelmaan orang meninggal yang tidak diterima arwahnya macam suaminya Misnari.”
            “Bisa saja, Pak. Mungkin arwahnya suaminya Misnari tidak terima kepada orang yang belum membayar lunas hutangnya!” tegas Jumadin.
            Beberapa warga langsung setuju.
            “Nah, daripada mengumpul di sini. Mending kita perketat penjagaan!” titah Pak RT.
            “Bakal aman, Pak. Apalagi ya, keluarga Misnari telah pergi dari desa sini. Percaya saja deh!”
            Mereka kemudian tertawa terbahak-bahak. Merasa telah menang. Pun, sampai jelang pukul dua belas tak ada tanda-tanda keanehan. Namun, tiba-tiba istri Pak RT lari dengan terbirit-birit menuju Pos RT.
            “Pak, pulang! Anak kita dalam masalah!”
            Di tengah mengatur napas istri Pak RT itu langsung menjelaskan, jika bocah kecilnya bermaksud kencing di luar rumah. Dan, ternyata bertemu sosok baung yang sedang menggosok-gosokkan badannya pada tembok.“Muka anak kita pucat pasi, Pak. Dan, beberapa perhiasaan langsung hilang!” jelas istri Pak RT.
            “Kalian langsung menyebar di beberapa titik! Temukan baung itu!” titah Pak RT yang kemudian pergi kembali ke rumahnya diikuti Jumadin dan rombongan yang tidak berpencar.
            Dan, anehnya di perjalanan mereka menemukan hewan yang memiliki kepala anjing dan tubuh manusia sedang menghisap darah hewan milik rumah sebelah Pak RT.
            Pun, baung itu langsung ditikam batu oleh warga yang melihatnya. Tidak hanya itu, mereka segera mengikat baung itu dengan tali tambang, lalu dipukuli hingga tewas. Jumadin yang berada di dekat mereka langsung kejang-kejang. Perhatian rombongan yang mengikuti Pak RT terpecah. Akibatnya satu orang mengikuti Pak RT kembali ke rumahnya. Dan, dua lainnya membawa Jumadin yang dirasa syok akibat melihat pembantaian baung.
            Di rumah Jumadin, para wargakembali mendapat kejutan. Ketika melihat lilin mati di ruang tamu yang ditemani kemenyan dan bunga tujuh rupa. Tak hanya itu, bisik-bisik kenikmatan juga ada di bilik kamar milik Jumadin. Pun, ketika mereka mendobrak pintu kamar Jumadin. Ternyata, Tomina sedang memadu kasih dengan seorang pria yang beberapa warga mengenal sebagai dukun keramat desa sebelah.
            Mereka yang sedang dihinggapi rasa marah berlebih. Segera menggopong keduanya keluar rumah. Pun, dukun cabul itu langsung dibakar hidup-hidup, setelah ditubuhnya tak tersisa pakaian. Sementara Tomina menjadi bentuk ludahan dan makian para warga. Sontak, kejadian tersebut membuat warga mengerumuni rumah tersebut. Dan bertambahlah kemarahan mereka.
*
Tiba-tiba Sadiyani mengingat masa lalunya. Ia menangis terseduh-seduh, tatkala wajah teduh ibu yang tak lagi teduh atau keringat bapak yang tak mendefiniskan arti perjuangan keras dalam menghidupinya membayang dalam pikirannya.
            Untuk menghalau rasa sedih yang teramat. Gadis ayu itu keluar rumah dan memandang pohon asam yang berada tak terlalu jauh, bersamaan dengan lewatnya Rahman di depan mata. Tak ada senyuman dari lelaki berahang gagah itu yang ada hanya tatapan tajam penuh amarah.
            “Aku harus pergi dari sini!” putus Sadiyani bergegas masuk ke dalam rumah dengan membawa segenap dendam abadi dari para tetangga yang sering menjadikannya pelampiasaan kekesalan sejak ditinggal mati kedua orang tuanya.




[1] Lelaki seperti emas dua puluh empat karat. Diambil dari cerpen “Dukka Ronjangan” karya Muna Masyari.

Sumber gambar : dreadout.wikia.com

Redaksi

Redaksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.