“Lalake
padhena emas pak lekoran karat.[1]”
Sepertinya
ungkapan tersebut tepat menggambarkan keadaan Sadiyani saat ini. Sebagai
seorang kembang desa yang tak memiliki aroma menarik kumbang. Ia seperti
kehilangan mantra penggoda. Rahman,
lelaki yang telah lama menjadi incarannya tak kuasa ia taklukan.
Kisah mereka seperti pohon
asam yang terletak tak jauh dari rumahnya. Dulu, di pohon tersebut. Bapaknya
pernah mendongengi bahwa sebenarnya pohon asam tersebut sebenarnya ada dua.
Yang satu berjenis kelamin laki-laki dan satunya lagi berjenis kelamin
perempuan. Angin puting beliung kemudian menjadi pemisah antara keduanya,
sekalipun masih terletak dalam satu desa. Pohon asam yang dinamakan Pemuda
berada tetap berada di Karangsari, sedangkan yang bernama Pemudi dibawa ke
wilayah Pesisir. Dan, bahkan hingga saat ini sisa bahwa pohon asam bernama
Pemudi masih bertengger jelas.
Pun, sebagai seorang yang
menyukai santapan dongeng para warga dusun Karangsari itu. Sadiyani berharap
bisa menyempurnakan dongengnya. Namun, genggaman masa lalu kedua orang tuanya
merusak segalanya.
*
Sepuluh tahun sebelumnya.
Sadiyani
kecil begitu hidup dalam gelimang harta. Awalnya kedua orang tuanya biasa-biasa
saja dalam menghasilkan pundi rupiah. Ritual bersama baung-lah yang menjadikan
mereka kaya semudah membalikkan telapak tangan.
Baung
yang dikenal sebagai hewan yang berkepala mirip anjing dan tubuh seperti
manusia selalu menjadi hewan paling mematikan. Tak hanya bagi sapi atau kambing
yang sering dihisap darahnya. Tapi, juga bagi warga yang tak sengaja menemui
hewan tersebut. Pasti, keesokan harinya terkena sakit yang mungkin berakibat
hilangnya nyawanya.
Entah
darimana asal-muasal dongeng tentang baung. Masyarakat di Kilensari-Panarukan
masih percaya. Kalau baung identik dengan jelmaan orang yang meninggal
dikarenakan arwahnya tak diterima oleh bumi. Biasanya macam-macam orang yang
tak diterima bumi itu berasal dari mereka yang memiliki garis hidup hitam,
seperti sewaktu hidupnya pernah menjadi bank harian atau istilah kerennya debt collector.
Pun,
ketika orang tua Sadiyani pergi ke dukun yang terkenal di desa seberang.
Dongeng tersebut langsung dimanfaatkan oleh Mbah Dukunagar bisa keduanya menambah
kekayaan.
“Di
rumah kalian. Baru saja ada yang meninggal kan?” tanya Mbah Dukun sambil
memandang dupa yang berasap.
“Bener,
Mbah.”
“Matena paningga mabudu’.” Vonis Mbah Dukun
yang mengatakan jika orang yang meninggal itu karena melakukan tindakan debt collector semasa hidupnya.
Kedua
orang tua Sadiyani yang masing-masing bernama Jumadin dan Tomina itu
mengangguk-angguk. Kemudian, bertanya dengan kompak, “Emangnya kenapa, Mbah?”
Mbah
Dukun yang memakai baju warna hitam dengan rambut keriting lebat tak langsung
menjawab pertanyaan pasangan muda itu. Ia malah menyunggingkan senyum penuh
arti. Serta, tawa yang begitu nyelekit. Melihat hal tersebut, Jumadin terpaksa
menahan ludah. Sementara, Tomina menaikkan alis. Tanda keduanya bingung dengan ekspresi dukun yang mereka datangi.
“Kalian
pulanglah. Nanti, malam akan tahu apa maksudku!”
Tanpa
berhahahihi keduanya langsung mengikuti titah Mbah Dukun. Sesampainya di rumah
ada sebuah hewan yang aneh, hewan jadi-jadian yang selama ini mereka takutkan.
“Baung!”
teriak Tomina.
Jumadin
yang awalnya takut, langsung menyumpal mulut Tomina dengan tangannya yang
kekar. “Ini jawaban dari Mbah, Sayang.” Ucap Jumadin dengan menggunakan penekanan
pada kata Sayang.
Tomina
langsung tersenyum. Ia langsung mengerti apa yang dimaksud Mbah Dukun. “Wow,
hebat. Selama ini kita ketahui bahwa baung itu identik dengan orang meninggal
yang tidak diterima arwahnya. Dan, kini kita menggunakannya sebagai media untuk
mengeruk uang.”
*
Di tempat lain, keluaga Misnari masih dibalut
duka. Bendera kuning yang ditancapkan oleh anak semata wayangnya. Tak jua
menarik perhatian warga untuk mengunjungi rumah duka.
Pun,
warga yang seharusnya mengantar tubuh sang suami ke liang lahat. Tak ada satu
pun yang bersedia. Kecuali Ustadz Herman dan Rahman, anaknya yang masih berusia
SMP.
Sungguh.
Perempuan yang masih memiliki sisa-sisa ayu di balik wajahnya itu kebingungan
tiada tara. Pun, sang anak yang bernama Supriono hanya bisa menanggung luka.
Sepertinya warga di desanya itu masih geram dengan suaminya yang dulunya
menjadi debt collector ganas.
“Ini
semua salah bapakmu. Kita yang ikut menanggungnya, Cong!” teriak Misnari pada Supriono ketika jejak-jejak langkah Ustadz
Herman dan Rahmantelah hilang di dalam rumah duka.
“Sudahlah,
Mak. Tak baik membicarakan kesalahan Bapak. Apalagi, dia sudah meninggal.”
Jawab Supriono berharap semua masalah yang membalut kepala ibunya itu hilang.
“Dendam
akan menjadi dendam. Tak mudah mengubah sejarah! Bapakmu telah menghitamkan
sejarah keluarga kita!”
“Tidak,
Mak. Kita masih bisa mengubahnya. Sebentar lagi, aku akan wisuda. Emmak patenang.”Supriono mencoba
menenangkan Ibunya.
Detik
bertalu. Keduanya masih disergap rasa bingung, muak, tapi memeras sabar. Agar
keduanya terlihat tegar di depan pemerhati kenangan masa lalu keluarga.
*
“Kita harus hati-hati, Pak.” Ucap Tomina pada
Jumadin.
Lelaki
yang memiliki tubuh tambun dan rambut lurus itu hanya menyungging senyum. Ia
telah mempersiapkan segalanya dari dukun ternama itu. Mulai dari lilin dan
sederet alat-alat untuk melakukan pesugihan.
Tepat
saat purnama kedua belas muncul. Mereka langsung melakukan aksinya. Pertama,
tubuh yang menyerupai baung itu langsung keluar dari belakang rumah mereka. Tak
lupa Tomina mengucek tubuh baung dengan sayang, seolah-olah mengucek rambut
anak kandungnya.
Baung
pun keluar dari pekarangan rumah dan langsung melanjutkan aksinya. Aksi pertama
yang hewan itu lakukan adalah datang kepekarangan warga yang memiliki ternak.
Dihisapnya darah beberapa ekor sapi. Lepas itu, ia seolah memiliki tenaga untuk
terus melanjutkan aksinya.
Pesugihan
baung itu hampir sama dengan pesugihan babi. Bedanya hanya pada objek
pesugihan. Baung pun pergi ke rumah-rumah orang kaya di desa, lepas itu
menggosok-gosokkan tubuhnya ke tembok rumah-rumah orang kaya. Dan, hasilnya
tepat jam satu pagi. Tomina yang menjadi pemerhati lilin mendapati beberapa
gram emas dan uang puluhan juta.
Misi hari pertama mereka sukses!
Esoknya,
peristiwa tewasnya beberapa hewan ternak langsung menjadi buah bibir warga.
Mereka yang dulunya hidup tentram, kini berubah ketakutan.
“Jangan-jangan
ada baung.” Komentar bapak-bapak di tukang kopi.
Sementara
para kaum ibuyang sering menonton sinetron berharap jika yang mengambil darah
hewan ternak itu adalah kawanan vampir, mirip seperti tayangan yang mereka
tonton. Macam-macam vonis mereka. Yang akhirnya membuat remaja di sana menjadi
bingung seketika. Tak terkecuali Sadiyani dan Rahman.
“Ni,
kamu tahu kan kematian hewan ternak itu?” tanya Rahman ketika pulang sekolah
bersama Sadiyani.
Gadis
yang masih mengenakan baju putih-biru itu tidak menanggapi dengan antusias.
“Itu bukan urusanku. Yang digigit kan hewan. Bukan manusia!”
Rahman
tak lagi melanjutkan pertanyaan pada Sadiyani. Keduanya menjadi kikuk, padahal
biasanya pembicaraan antara keduanya begitu mengalir. Bak air yang mengalir
dari tempat tinggi ke tempat rendah. Yang sesekali tersumbat, pabila ada sampah
yang berserak.
“Kau
sekarang tidak seru, seperti dulu!” protes Rahman meski dalam hati.
Di
rumah, Sadiyani mendapat kejutan tak terkira dari kedua orang tuanya. Ia
dibelikan baju baru, juga emas cincin dan gelang.
“Ibu
dan Bapak dapat dari mana uang segini banyaknya.” Kata Sadiyani takjub melihat
barang yang begitu banyak dan mewah. Apalagi, kondisi di lingkungannya sedang
dalam keadaan tidak ada ikan.
“Ada
tabungan, Sayang. Agar kamu bisa bergaya di sekolah.”
Sadiyani
kegirangan. Ia sampai meloncat-loncat di hadapan kedua orang tuanya. Melihat
hal tersebut Tomina dan Jumadin begitu bangga terhadap hasil kerja kerasnya,
toh yang terpenting adalah membagiakan anaknya. Soal dapat darimana itu urusan
nomor dua puluh lima.
*
Malam harinya, baung itu kembali melakukan
aksinya. Kini geraknya semakin waspada. Hewan yang memiliki kepala anjing itu
kini melakukan aksi lebih luas. Hewan ternak yang menjadi objek hisapannya
semakin banyak. Hal ini dikarenakan tenaganya yang harus benar-benar ber-stamina
agar ia lebih bersemangat dalam menguras harta orang kaya.
Seusai
menguras darah puluhan ternak yang dimiliki beberapa orang itu. Baung kini
mencoba pergi ke desa sebelah yang hanya dibatasi oleh sungai Sampeyan. Ia pun
melakukan jarahan. Dan, seperti biasa tepat jam satu. Tomina yang menjadi
pemerhati lilin telah mendapatkan beberapa rupiah.
Namun,
tiba-tiba lilinnya menjadi mati. Dan, si baung tak kembali lagi ke rumahnya.
Tomina disergap rasa bingung tiada tara.
*
Pagi harinya. Panarukan kembali geger. Bukan
karena nelayan yang tak mendapat ikan dari laut. Tapi, karena hewan yang
meninggal semakin banyak.
“Sepertinya
ada yang ingin main-main dengan kita!” ucap Pak RT dengan nada tinggi.
Lelaki
berkumis lebat itu langsung mengadakan rapat agar diadakan rutinitas ronda yang
selama ini telah lama hilang di dalam kawasannya. Banyak warga lelaki yang
langsung menyetujui. Sedang, Jumadin yang juga hadir dalam rapat tersebut
terpaksa mengatakan ‘iya’ karena tidak enak hati. Padahal, jauh dalam
pikirannya. Ia begitu muak dengan adanya rutinitas ronda. Apalagi, hal itu akan
berdampak pada melemahnya pendapatan si baung. Ngomong-ngomong tentang baung.
Lelaki itu baru tersadar jika ia hewan piaraannya itu tidak kembali ke rumah. Beruntung,
sesampainya lelaki berusia setengah abad di rumah. Ia mendapati Mbah Dukun yang
sedang berbincang hangat dengan istrinya.
“Kalian
harus lebih waspada. Dan, jangan sampai baung ini pergi ke desaku lagi. Soalnya
bisa gawat!” ucap Mbah Dukun was-was sambil memegang janggutnya.
Lelaki berusia enam puluhan
itu. Kini, tidak memakai baju berwarna hitam gelap nan menakutkan. Namun,
memakai sarung dan baju kokoh yang begitu memikat siapapun orang yang
melihatnya. Termasuk Tomina.
“Baiklah,
Mbah. Berhubung kondisi desa sini yang tak lagi baik untuk dijarah. Saya akan
membawa baung itu ke tempat lain.” Ujar Jumadin.
Mbah
Dukun tersenyum simpul. Sambil, sesekali memandang Tomina yang tampak
menggairahkan di matanya.
*
“Auuuhh!”
Suara
longlongan mirip serigala sudah terdengar tepat jam dua belas malam. Pak RT
yang memimpin sedang berkeliling desa bersama warga langsung merinding
ketakutan, namun tiba-tiba ia tersenyum.
“Itu
suara baung, Pak.” Lapor seorang warga.
Pak
RT segera menyungingkan senyum. Di balik senyumnya, ia sudah bisa memprediksi
bahwa suara baung itu tak lain jelmaan dari arwah suami Misnari yang baru meninggal Minggu ini. Apalagi jika
melihat sejarah bahwa suami perempuan beranak satu ia bekerja sebagai dept collector.
Besoknya,
Pak RT ditemani banyak warga lelaki segera pergi ke rumah Misnari yang tengah berbincang-bincang
dengna Ustad Herman dan Supriono. Suasana pagi yang masih tak banyak aktivitas
itu langsung berubah gaduh.
“Sudahlah,
Bu. Jangan ngeles! Pasti arwah suamimu tidak diterima Gusti Allah. Makanya,
jadi baung! Sekarang Ibu harus tanggung jawab!” vonis Pak RT dengan intonasi
yang begitu tinggi memaksa suasana berubah menjadi lebih panas.
“Kalaupun
suami saya jadi baung. Itu semua gara-gara warga yang tidak bisa memaafkan
kesalahannya!” gertak Misnari tak mau kalah.
“Saya
mohon kepada para warga untuk tenang. Tidak baik menyelesaikan masalah dengan
pikiran panas.” Nasihat Ustadz Herman, tenang.
“Halah.
Ustadz sok suci ini! Jangan mendakwah! Aku tahu maksudmu mendekati Misnari.
Supaya bisa mendapatkan janda lelaki debt
collector itu kan?!”
Ustadz
yang bersahaja itu segera berucap istighfar dalam hati. Tetapi, hal tersebut
tidak memengaruhi sikap warga yang masih memerah rasa benci pada keluarga
Misnari. Puncaknya, para warga langsung membakar rumah peninggalan dept collector itu dengan ganasnya.
Tanpa ada sisa sedikitpun.
Misnari
hanya menjerit di tengah pelukan Supriono. Sementara, anak lelaki yang baru
lulus kuliah itu hanya menahan rasa geram. Sambil berusaha menguatkan dirinya
dan sang Ibu.
Tak sampai di situ, Ustadz
Herman juga menjadi bulan-bulanan warga. Ia ditenggarai sedang melakukan zinah
dengan Misnari. Pun, pengusiran didapat oleh dua keluarga tersebut.
*
“Ini sudah waktunya!” putus Jumadin ketika
mengetahui tragedi pengusiran keluarga Misnari dan Ustadz Herman itu.
“Bener,
Pak. Apalagi warga sudah menjadi sedikit tenang. Itu artinya kita bisa menguras
harta mereka dengan mudah. Sebab, tak lagi akan ada ronda.”
“Kata
siapa tidak ada ronda, Bu. Malah nanti malam. Jadwalnya bapak.” Ungkap Jumadin
diiringi senyum oleh Tomina.
“Kebetulan
yang seru! Nanti malem rencananya, aku ingin menjarah rumahnya Pak RT yang
terkenal cerrek itu. Nah, Bapak
alihkan perhatian ya!”
Malamnya,
tepat jam sebelas malam. Para warga yang mendapat giliran untuk menjaga
lingkungannya. Langsung tersebar di beberapa pos penjagaan RT. Para kaum bapak
itu langsung menggelar domino dan menegak kopi sebagai penahan kantuk.
Sementara itu, Pak RT yang baru bergabung langsung menekuk mukanya. Senyum
lelaki pelit itu tak terlihat sama sekali.
“Ada
apa, Pak?” tanya Jumadin bermaksud berbasa-basi.
“Begini
lho, masak tadi ada beberapa warga yang merasa uangnya hilang. Bahkan,
perhiasannnya. Duh, cettak pelengen!”
ucap Pak RT memegang kepalanya yang katanya pusing. “Masak bisa baung ngambil
uang. Kan tidak mungkin! Adanya baung ya cuma jelmaan orang meninggal yang
tidak diterima arwahnya macam suaminya Misnari.”
“Bisa
saja, Pak. Mungkin arwahnya suaminya Misnari tidak terima kepada orang yang
belum membayar lunas hutangnya!” tegas Jumadin.
Beberapa
warga langsung setuju.
“Nah,
daripada mengumpul di sini. Mending kita perketat penjagaan!” titah Pak RT.
“Bakal
aman, Pak. Apalagi ya, keluarga Misnari telah pergi dari desa sini. Percaya
saja deh!”
Mereka
kemudian tertawa terbahak-bahak. Merasa telah menang. Pun, sampai jelang pukul
dua belas tak ada tanda-tanda keanehan. Namun, tiba-tiba istri Pak RT lari
dengan terbirit-birit menuju Pos RT.
“Pak,
pulang! Anak kita dalam masalah!”
Di
tengah mengatur napas istri Pak RT itu langsung menjelaskan, jika bocah
kecilnya bermaksud kencing di luar rumah. Dan, ternyata bertemu sosok baung
yang sedang menggosok-gosokkan badannya pada tembok.“Muka anak kita pucat pasi,
Pak. Dan, beberapa perhiasaan langsung hilang!” jelas istri Pak RT.
“Kalian
langsung menyebar di beberapa titik! Temukan baung itu!” titah Pak RT yang
kemudian pergi kembali ke rumahnya diikuti Jumadin dan rombongan yang tidak
berpencar.
Dan,
anehnya di perjalanan mereka menemukan hewan yang memiliki kepala anjing dan
tubuh manusia sedang menghisap darah hewan milik rumah sebelah Pak RT.
Pun,
baung itu langsung ditikam batu oleh warga yang melihatnya. Tidak hanya itu,
mereka segera mengikat baung itu dengan tali tambang, lalu dipukuli hingga
tewas. Jumadin yang berada di dekat mereka langsung kejang-kejang. Perhatian
rombongan yang mengikuti Pak RT terpecah. Akibatnya satu orang mengikuti Pak RT
kembali ke rumahnya. Dan, dua lainnya membawa Jumadin yang dirasa syok akibat melihat pembantaian baung.
Di
rumah Jumadin, para wargakembali mendapat kejutan. Ketika melihat lilin mati di
ruang tamu yang ditemani kemenyan dan bunga tujuh rupa. Tak hanya itu,
bisik-bisik kenikmatan juga ada di bilik kamar milik Jumadin. Pun, ketika
mereka mendobrak pintu kamar Jumadin. Ternyata, Tomina sedang memadu kasih
dengan seorang pria yang beberapa warga mengenal sebagai dukun keramat desa
sebelah.
Mereka
yang sedang dihinggapi rasa marah berlebih. Segera menggopong keduanya keluar
rumah. Pun, dukun cabul itu langsung dibakar hidup-hidup, setelah ditubuhnya
tak tersisa pakaian. Sementara Tomina menjadi bentuk ludahan dan makian para
warga. Sontak, kejadian tersebut membuat warga mengerumuni rumah tersebut. Dan
bertambahlah kemarahan mereka.
*
Tiba-tiba Sadiyani mengingat masa lalunya. Ia
menangis terseduh-seduh, tatkala wajah teduh ibu yang tak lagi teduh atau
keringat bapak yang tak mendefiniskan arti perjuangan keras dalam menghidupinya
membayang dalam pikirannya.
Untuk
menghalau rasa sedih yang teramat. Gadis ayu itu keluar rumah dan memandang pohon
asam yang berada tak terlalu jauh, bersamaan dengan lewatnya Rahman di depan
mata. Tak ada senyuman dari lelaki berahang gagah itu yang ada hanya tatapan
tajam penuh amarah.
“Aku
harus pergi dari sini!” putus Sadiyani bergegas masuk ke dalam rumah dengan
membawa segenap dendam abadi dari para tetangga yang sering menjadikannya
pelampiasaan kekesalan sejak ditinggal mati kedua orang tuanya.
[1] Lelaki
seperti emas dua puluh empat karat. Diambil dari cerpen “Dukka Ronjangan” karya
Muna Masyari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar