Oleh : Ahmad Zaidi
Seharusnya hujan turun
menyerbu desember yang renta. Membasuh doa yang lama mengering, menggenangi
rindu di ladang-ladang kemarau. Namun kali ini hujan terlambat datang. Seperti
kekasih yang melewatkan janji bertemu.
Mendung menggelayut manja di
langit, berkerut serupa kapas-kapas yang rapuh. Di mendung seperti itu, tak
satu pun butir hujan jatuh, tak sepercik pun gerimis teruntai. Hanya mendung,
guruh disertai kilatan petir. Barangkali di atas sana ada sepasang kekasih
sedang bertengkar, keruh perasaan mereka menjelma mendung, luapan emosi mereka
menjelma petir, dan saat salah satu dari mereka menangis-biasanya tokoh
perempuan-maka turunlah hujan. Barangkali memang demikian.
Hujan belum juga turun.
Hingga desember runtuh di malam perayaan tahun baru.
***
Lelaki itu duduk di sudut
remang, tampak beberapa bekas luka menjalari sekujur tubuhnya. Tunggu dulu,
ratusan, bahkan ribuan jumlah luka sayatan itu.
"Lihat pria tua di
pojok sana!" Suparno menjawil lengan teman yang duduk di sampingnya,
Karim. Sejak tadi, mereka tengah khusyuk masyuk meramal angka berapa yang akan
keluar besok. Di warung kopi, togel merupakan hal lumrah bagi pemuda
pengangguran macam Suparno dan Karim.
"Ditilik dari wajahnya,
dia berumur enam puluhan. Dan bekas luka itu.. Astaga, Cong! Pasti hasil
perkelahian selama bertahun-tahun. Atau jangan-jangan, dia pembunuh yang buron.
Dia sengaja diam di sini agar lolos dari kejaran polisi." Suparno
menduga-duga.
"Kau tahu, Cong. Tak
pernah aku melihat bajingan manapun dengan bekas luka macam pria tua itu."
"Diamlah!" Karim
buka suara setelah bahunya diguncang demikian keras.
"Kau tak tahu, ya. Pria
macam dia biasanya ditemui di koran-koran, berita kriminal." Suparno masih
'membabibu' macam presenter acara televisi yang lagi trend.
Karim beranjak dari
duduknya.
"Kau mau kemana,
Cong?"
"Pulang!" Karim
berlalu pergi.
Sejak saat itu, mereka
berdua tak tampak lagi di warung kopi Lek Marni. Ada kabar yang mengatakan
bahwa keduanya diringkus polisi saat asyik menerima uang haram dari salah
seorang politisi. Mereka dituduh korupsi. Padahal jika kalian mau tahu yang
sebenarnya, sang politisi lah yang korup. Suparno dan Karim adalah contoh kecil
dari setumpuk korban, contoh bahwa hukum amat tajam bagi kalangan bawah.
Sudahlah, aku tidak begitu
mafhum dengan urusan demikian. Jangan dipedulikan.
Lelaki itu sudah seminggu
lebih rutin mendatangi warung kopi Lek Marni. Lebih dari seminggu pula tidak ada
hujan. Akibatnya cuaca panas, membara, tak kalah dengan artis dangdut yang
terkadang mebikin kembang kempis.
"Lek tahu tidak, lelaki
tua yang akhir-akhir ini datang ke warung?" Aku menyempatkan bertanya saat
membantu beres-beres sebelum warung tutup.
"Tak tahu."
"Kopi apa yang biasa
dipesannya?"
"Kenapa
memangnya?"
"Lek tahu tidak, kalau
tabiat manusia bisa dilihat dari jenis kopi yang diminumnya, jumlah takarannya
dan berapa gelas semalam."
Lek Marni menatapku
lamat-lamat, sejurus kemudian melengos acuh. "Sudahlah, aku mau
tutup!"
Lek Marni menyambar tas
berisi peralatan yang harus dibawa pulang. Aku terdiam di lencak depan pintu.
Sesaat kemudian lengang. Warung telah tutup. Bayangan lelaki tua itu masih
tergambar jelas di kepalaku. Besok aku harus menemuinya.
***
Hujan masih enggan turun.
Udara pengap di siang hari. Malamnya dingin tak tertanggungkan. Kudengar
ramalan cuaca di televisi, katanya, sebentar lagi musim hujan akan tiba. Memang
dari dulu, di tempat kelahiranku musim hujan selalu datang terlambat. Namun
kali ini, sepertinya kami tidak akan mendapat jatah hujan.
Aku berangkat lebih awal
dari biasanya ke warung Lek Marni. Rasa penasaran membuatku segera ingin
menjumpai lelaki tua itu. Setiap kali menatap matanya, aku merasa takjub, ada
energi luar biasa yang terpancar. Tatapan yang meneduhkan, sejuk, tenteram.
Tembakau hampir habis, Lek
Marni belum datang. Aduh, bisa-bisa rencanaku semalam, hingga tak bisa tidur,
batal. Aku harus cepat-cepat menemui Lek Marni di rumahnya.
Di detik aku akan berdiri,
saat itu, dalam adegan lambat, lelaki itu berjalan ke arahku. Sejurus kemudian
duduk di sebelahku. Ia mulai bercerita semuanya.
***
Namanya Pohon, kekasih
hujan. Sebulan lalu, aku dan semua laki-laki di kota ini menebangnya. Sekarang
aku tahu kenapa hujan belum juga turun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar