Social Media Sharing by CB Bloggerz


a
a
a
a

Recent Posts
recent

Bebotoh

Cerpen Mini Oleh : Kiswatul Lathifa
Sepatunya sampai kusut. Tergesa berangkat saat pagi, namun pulang dengan malam yang suntuk. Sangat larut. Awal bulan jadi kebanggaan diri Ia. Lalu, dua hari kemudian, tinggal beberapa lembar ribuan dalam isi dompetnya.
Lihat! Dasinya berkerut. Ini akhir pekan. Malam yang dilewatkannya untuk sebuah bar di pojok jalan. Menikmati sebotol vodka yang siap mengapungkan pikirannya. Mulanya satu sloki, lalu dua, kemudian tiga hingga akhir tetesnya.
Seorang teman menghampiri Ia dengan wajah sembilu. Tajam. Melangkah menggertak lantai bar yang berkilau karena lampu disko. Ditariknya kemeja kusut Ia, Ia yang setengah mabuk.
"Bayar hutangmu sekarang!"
"Aku tak punya. Besok kubayar lengkap dengan bunganya," ucap Ia.
"Kusita rumah kau dan kulucuti dagingmu pun, tak mampu bayar semua hutangmu," laki-laki asing kekar itu makin menarik kuat kemeja Ia.
"Besok aku pasti menang. Ratusan juta. Percayalah. Kalau esok aku tak bayar, kau boleh bunuh dengan cara apapun," tantang Ia.
Malam itu, laki-laki kekar pulang tanpa uang. Sedang Ia, harap cemas menunggu kemenangan di meja sebelah, perjudian terbesarnya.
Hari berganti. Malam kemarin 24 jam berlalu, berganti dengan malam ini. Malam yang tak sama. Malam yang kalah baginya. Malam Ia yang sampai tak mampu membeli sebatang rokok. Ia pulang kerja lebih cepat. Hari masih berlangit nila. Kemeja kusut warna biru muda dengan dasi warna gelap, ditariknya sedikit longgar. Ia lelah.
Gang menuju rumah hanya lorong kecil yang sepi tanpa sebatang hidung pun yang lewat. Ia sendiri. Pikirannya tiba-tiba ingat pada Oka, laki-laki kekar yang tadinya pinjamkan uang 50 juta, lalu berubah nominal sampai 200 juta. Hutang Ia.
Jemarinya merogoh isi saku celana, tak ada uang, juga rokok penenang pikiran. Ia gelisah. Entah apa yang terjadi pada hidupnya. Habiskah rumahnya? Disitakah hari ini? Oka pasti tengah menunggunya.
Tapi tidak, rumahnya masih terkunci. Tak ada yang mendobrak dan mengobrak-abrik isinya. Ia lega. Setidaknya untuk sejenak. Kakinya melangkah masuk. Bayangan seseorang menempel di tembok kamarnya. Bayangan laki-laki tanpa wajah. Bertopeng gelap dengan kostum hitam pekat. Ia menoleh pada balik punggungnya. Tempat orang asing berdiri.
Suara tembakan pun terjadi. Tepat pada pelipisnya. Ia terjatuh. Pandangannya pun kabur. Redup. Aliran darah seperti berhenti dengan degup jantung makin pelan. Ia susah bernapas. Seperti tak punya jalan keluar menghirup udara.
Kala itu, senja beriring kumandang azan. Maghrib datang. Ia tiba pada kesesakan napas yang makin tak menemukan cara untuk keluar dan masuk. Dipegangnya dada Ia. Ditepuk-tepuknya.
Sekelabat orang berbaris di ingatannya. Ingatan terakhir. Bape yang malang berkali-kali ditagih hutang karena Ia yang bebotoh. Meme yang menangis sebab Ia tak mau insaf. Masih saja senang bermain uang. Sampai ingatan keluarga kecil dalam rumah besarnya, yang terpaksa disita karena hutang Ia. Bape dan Meme jera. Ditinggalkannya Ia. Diberinya rumah yang kali ini ditempatinya. Dibiarkannya Ia berkerja. Tapi Ia tak jera. Masih di jalan bebotohnya. Ia belum jera.
Tangis Ia beruai. Sesak napas dan darah segar mengalir di lantai. Laki-laki tak dikenalnya seperti menunggu kematian Ia. Ia pasrah. Hanya dua kata yang diucapnya.
"Bape, Meme"
Dikenangnya orang tua itu saat detik terakhir kematiannya. Ia menyesal. Tapi tak punya banyak waktu menyesalinya. Ia menangis. Sedari tadi ia terjatuh dan tersengal.
Sementara laki-laki penembak yang tak dikenalnya, masih menunggu kematian.

Redaksi

Redaksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.