Social Media Sharing by CB Bloggerz


a
a
a
a

Recent Posts
recent

Di Balik Air Mata Umi


Oleh : Wirdatun Nafisah

03.15 WIB, dini hari. Lagi-lagi aku terbangun dari tidurku. Isak tangisnya terdengar dari dalam kamarku. Ini malam kedelapan setelah pertama kali aku terbangun karena suara tangisnya. Kali ini kuberanikan diri mengintip dan membuka pintu kamarnya sepelan mungkin.
Kenapa Umi menangis? Aku bertanya-tanya. Dengan balutan mukena putih, tampak ia sedang duduk sambil menengadahkan kedua tangannya. Ia menangis dan terus menangis. Dengan penuh tanda tanya, aku kembali ke kamarku. Kucoba  menjawab pertanyaan yang sedari tadi muncul dalam benakku. Kenapa Umi menangis? Apa ia telah lelah dan akan menyerah atas hidup ini? Tak lama, aku tertidur dengan pertanyaan yang masih belum terjawab.
---
Aku adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Satu kakak perempuan yang selalu ku panggil Mbak Fira, satu kakak laki-laki yang bernama Kak Ahid, dan dua adik laki-lakiku, Rici dan Fay, begitu aku memanggil keduanya. Keluarga besar yang sederhana nan bahagia. Kebersamaan dengan mereka tak pernah bisa tertukar dengan apapun.
 Orang-orang selalu tertawa setiap mendengar jawabanku atas pertanyaan mereka mengenai jumlah saudaraku. “Kamu berapa bersaudara?” Dengan percaya diri aku menjawab. “Pas seperti rukun Islam.” Mungkin mereka berpikir, program Keluarga Berencana  pemerintah “dua anak lebih baik” tidak menghalangi orangtuaku untuk membentuk sebuah keluarga besar.
Namun, tak bisa kami pertahankan kebahagiaan ini. Saat sampailah kami, di mana kebahagiaan itu harus tergantikan dengan tangisan, ketakutan dan kekhawatiran. Ya, di sinilah kami sedang berdiri. Menatap ke depan, tak tahu apa yang kelak kami hadapi.
**
Satu tahun yang lalu.
“Umi kapan datang menjenguk? Aku kangen lho.” Kutanya Umi di seberang sana. 
Waktu itu, aku masih duduk di bangku kelas XI di sebuah pondok pesantren di daerah Probolinggo, tempat Mbak Fira dan Kak Ahid menimba ilmu dulu. Sudah sekitar lima tahun aku menimba ilmu di sana.
“Kapan ya, Nak? Kalau ada waktu. Doakan Umi sehat, Nak. Terutama Babah!”. Deg. Seketika firasatku mulai tak nyaman. Kenapa Babah? Apa ini arti dari mimpi beberapa malam yang lalu?
“Babah kenapa, Mi?” Kuberanikan diri bertanya meski tak mengharap jawaban yang dapat membuat bunyi detak jantungku semakin cepat.
“Babahmu kurang sehat, Nak. Kemarin jatuh di dekat surau. Sudah dibawa ke rumah sakit. Ternyata Babah kena Gejala Stroke.” Terdengar suaranya dari gagang telepon wartel, Umi mencoba setegar mungkin.
Terisak-isak kutahan air mata. Sekejap, suara isakan tangisku membuat santri-santri di wartel menoleh. Kututup telepon itu dan segera berlari. Berlari dan terus berlari. Mencari-cari tempat sepi untuk meluapkan tangisku.
**
Itulah awal mula dari semuanya. 
Tak ada lagi canda. Tak ada lagi tawa.
Yang ada hanya tangis dan peluh yang tak berujung.
**
Umi adalah ibu rumah tangga sekaligus pengganti posisi Babah di keluarga ini.  Tak banyak yang bisa ia lakukan. Hanya berjualan jilbab dari rumah ke rumah, berjualan baju bahkan kecap. Semua yang bisa dijual ia jual. Tak kenal malu dan tak kenal lelah.
Setahun telah ia lewati rintangan yang tak tahu kapan berakhir. Tak bisa disebutkan ribuan cara yang telah ia lakukan demi bertahan hidup. Dan jika dihitung-hitung, tak masuk akal, dengan usaha yang tak menentu bisa menghidupi lima orang anak dan seorang suaminya. Itulah kehendak Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
---
Semalam, aku kembali mendengar suara isak tangisnya. Aku sudah memberanikan diri mengintip dari celah pintu yang kubuka pelan. Tak ada yang bisa kulakukan.
Malam ini aku berniat bangun bukan untuk mengintip lagi. Aku berniat mendirikan salat malam seperti yang ia lakukan. Aku ingin menemaninya bertemu Sang Khalik dan berdoa kepadaNya.
Ku berjalan di tengah kegelapan malam menuju kamar mandi di sudut rumahku. Kuraih gayung dan berwudu. Kurasakan kekuatan air wudu yang menyegarkan diri ini dengan sekejap. Setelah itu, kuberjalan kembali ke kamarku untuk segera salat. Dan sesampai di depan kamar Umi Babah dan tempat Umi salat malam, aku mendengar isak tangisnya lebih keras di sela-sela beberapa untaian doanya.
“Ya Allah. Betapa lelahnya diri ini menjalani semua. Betapa bosannya diri ini atas semua ini. Tak bisakah kebahagiaan yang dulu mewarnai kembali menggantikan warna-warna gelap hidup ini? Berilah kesehatan untuk imamku dan imam keluargaku. Dan berilah kekuatan dan ketegaran untukku, untuk selalu di sisinya, apapun yang terjadi. Cukupkanlah kami dan jangan biarkan anak-anakku merasakan pahitnya kehidupan ini ya Allah.”
Aku terdiam tepat di depan pintu kamar Umi dan kudengar semuanya dengan jelas. Ya Allah. Umi selalu terlihat tegar di depan anak-anaknya. Selalu tersenyum seolah tak terbebani. Senyumnya membuat aku kuat berdiri setelah terjatuh. Senyumnya menyemangatkanku untuk terus berlari menggapai asa. Senyumnya memunculkan pelangi setelah hujan. Senyumnya menghapuskan ketakutan dan kekhawatiran ini.
Dam malam itu, dengan khidmat aku bersujud dan melantunkan lagi doa-doa Umi dan beberapa doaku. Malam itu juga aku tahu, betapa tulus kasih sayangnya dan betapa suci cintanya. Ketulusannya hanya patut aku balas dengan pembaktianku kepadanya.


*) Wirdatun Nafisah  Lahir Situbondo, 4 Februari 1997. Lulusan MA Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Bisa dihubungi di 085608982515 dan wirdatunnafisah@yahoo.co.id


Redaksi

Redaksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.