Social Media Sharing by CB Bloggerz


a
a
a
a

Recent Posts
recent

Slamettan Desa hingga Air Terjun Desa Telempong

Oleh : Situbondo Kreatif

Desa Telempong memang bukan destinasi utama untuk wisata alam di Jawa Timur. Apalagi menasbihkan diri menjadi desa wisata/budaya untuk mengangkat pariwisata di Besuki-Situbondo. Desa ini dihuni sekitar 500 Kepala Keluarga (KK) dan letak desanya di kelilingi bukit-bukit terjal.

Jika anda tiba di gapura Desa Telempong, udara dingin dan sejuk akan menyapa. Sebelum gapura desa, pohon dan ranting kosambhi (kesambi) yang batangnya kemerah-merahan tumbuh di kanan-kiri jalan. Mas Agus bilang, “ranting-ranting kosambhi ini dibuat bahan utama plethur untuk memberi warna pada meja, kursi, atau lemari kayu,” red.

Melewati Desa Banyuglugur, kemudian masuk Desa Telempong, kita akan disuguhi pagar rumah warga yang berwarna cerah. Terlintas mirip rumah-rumah di Bromo-Probolinggo. Ardy dan Mas Agus sependapat tentang ini. Tidak semua, hanya beberapa, selebihnya hanya pagar dari bambu dan kayu sisa-sisa.

Malam hari sebelum ke Telempong-Besuki, Mas Agus bilang kalau besok ada slamettan desa dan air terjun yang masih belum banyak pengunjungnya. Rencana slamettan desa akan dimulai sekitar pukul 14.30 WIB. Kita berangkat pukul 10-an dari Rumah Baca-Situbondo.

Sesampai di salah satu warung milik seorang ibu warga Desa Telempong, kita disuguhi kopi hitam dengan tubruan kopi yang masih kasar. Ada hidangan pisang susu dan musang yang katanya diambil dari kebun miliknya.

Warung yang berjarak sekitar 100 meter-an dari lokasi slamettan suasananya sejuk. Kita senang sekali duduk di depan warung ibu ini. Kita bisa melihat langsung ke tebing sebelah barat yang menjulang seperti bangunan benteng. Di belakang warung, ada lahan pertanian dan bukit-bukit ditumbuhi pohon-pohon.

Mungkin, karena letak desa yang dikelilingi bukit, saya merasa tenang. Mas Agus menghisap rokoknya dalam-dalam, kemudian Ia berkata “Di sini sekali panen cabai, bisa buat makan satu tahun,” red. Saya dan Ardy hanya manggut-manggut sembari menyeduh kopi yang panasnya mulai mendingin.

Keseharian warga di sini bekerja ke ladang, mayoritas seorang petani seperti di desa-desa pada umumnya. Kalau dilihat-lihat, lahan untuk bercocok tanam di sini lebih luas daripada desanya. Tak ayal kalau sekali panen bisa menghidupi kesehariannya selama satu tahun. Saya sempat berfikir untuk mencari calon istri di Desa Telempong.  Hehe.
***
Perjalanan menuju air terjun Telempong membutuhkan waktu rata-rata 20 menit pulang/pergi dari area parkir yang dibuka warga setempat dengan berjalan kaki. Medan jalannya pun tergolong enak untuk dilalui untuk orang yang secara fisik lemah.

Medan jalan/jalan setapak menuju air terjun dipenuhi batu-batu yang tersusun rapi. Untuk sampai disana, kita harus mengitari bukit-bukit yang ditumbuhi pohon jati dan beberapa areal sawah warga. Nyanyi burung dan gemericik air sungai menjadi alunan musik alam yang menurut saya patut kita jaga dan melestarikan.

Sekitar 100 meter dari air terjun, ada 4 kotak kiranya, lahan pertanian  dibiarkan nganggur. Di sisi utara lahan ada sebuah gubuk yang dihuni seorang kakek. Kita sempat menyapa saat melintasi pematang sawah itu. Mas Agus bilang bahwa areal sawah ini sudah dibeli oleh pengusaha untuk dijadikan penginapan/villa.

Setelah melewati pohon bambu, Air Terjun Telempong terlihat sayup-sayup. Suara air jatuhnya tidak bergelegar, mungkin karena debit airnya yang kecil akibat kemarau. Saat sampai di sana, kita hanya bertiga saja. Duduk di batu-batu menghadap air jatuh. Sesekali memejamkan mata untuk menyatukan diri dengan suasana.

Sangat disayangkan jika air terjun ini dikelola dengan cara yang tidak benar oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam obrolan di warung kopi tadi, ada isu bahwa Desa Telempong akan dijadikan desa wisata. Jika benar-benar air terjun ini dibuka untuk umum oleh Pemerintah Situbondo, perlu kiranya memperhatikan lingkungan tetap terjaga. Mungkin, salah satunya seperti sampah-sampah pengunjung. Dan, kontribusi dari wisata untuk Desa Telempong.
***
Saya dan beberapa orang berjalan menuju tempat slamettan desa dari balai. Tidak terlalu jauh lokasi acaranya, hanya 100 meteran. Banyak warga yang sudah berkumpul, dari yang tua hingga anak-anak. Kita menyempatkan mengambil gambar di beberapa titik lokasi.

Slamettan desa di Telempong rutin dilakukan setiap tahun. Ritual ini adalah bentuk rasa syukur kepada alam dan pencipta karena bermurah hati memberi kelancaran dalam urusan pertanian. Sebagai acara simbolis, ada dua sapi yang diikat dengan bambu seperti akan membajak sawah dan kayu yang digantungi jagung ditancapkan ditengah-tengah sawah. Setelah itu sapi yang diikat bambu akan dilepas oleh seorang joki dan dibiarkan sampai menabrak kayu yang digantung jagung.

Suara riuh warga yang mengisi pematang sawah saling bersorak ketika sapi dilepas. Saya yang berada di sisi timur dekat sungai yang sedang mengambil video hampir ditubruk oleh sapi yang tidak tepat sasaran/kayu. Pelepasan pertama gagal. Kemudian pelepasan sapi diulang untuk kedua kalinya hingga mengenai sasaran. Sontak, warga sumringah karena  sapi mengenai sasaran. Itu artinya, kegiatan pertanian di Desa Telempong diberkati oleh alam dan pencipta.

Setelah pelepasan sapi selesai, acara dilanjutkan makan bersama didekat sawah dengan warga. Saya, Ardy, Mas Agus, Mas Erwin dan teman-teman dari Besuki ikut makan bersama warga. Dan, kita sempat mencicipi rokok opet yang kertasnya terbuat dari kulit jagung yang enak kemudian lama kelamaan gatal di bibir. []


Redaksi

Redaksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.