Social Media Sharing by CB Bloggerz


a
a
a
a

Recent Posts
recent

Pesan Sesepuh Situbondo

Petuah
Sesepuh Situbondo

“Senga'an parukun sataretanan. Mun pon apolong, tekka'a laen kandung, jek atokaran. Kodhu saleng belei.”

Di kampung Langai, Desa Sumberkolak, Kecamatan Panarukan, ada seorang sesepuh yang sudah berumur 111 tahun. Ia diperkirakan lahir pada tahun 1903. Nama aslinya adalah Naimatullah. Warga biasa memanggilnya pak Masroji, diambil dari nama anak pertamanya. Istrinya bernama asli Sawina, dipanggil buk Masroji. Mereka tergolong sesepuh yang dari sejak lahir tinggal di kampung Langai.

Pak Masroji adalah generasi ketiga, sejak kakeknya bernama Madisa asal Madura bermigrasi ke Jawa. Mereka memilih meneruskan hidup dan menetap di kampung Langai karena merasa cocok dengan lingkungan alamnya.
Mbah Masroji (Sesepuh Situbondo)

Dulu, saat pertama kali menginjakkan kaki di kampung Langai, Keluarga pak Masroji membangun rumah sederhana, bahannya didapat dari sekitar. Cukup menggunakan bahan kayu, bambu, dan atapnya dari daun tebu. Warga Langai biasa menyebutnya “roma atak”. Menurut pak Masroji, dulu orang-orang membangun rumah, fungsinya hanya untuk tempat berteduh agar tidak kepanasan dan kehujanan. “Pokok badha se ekanaongi,” katanya.

Pekerjaan yang ditekuni oleh pak Masroji dan warga kampung Langai umumnya adalah sebagai petani. Dari pekerjaan yang ditekuninya, pak Masroji bisa menghidupi istri dan tiga anaknya. Selain sebagai petani, pak Masroji juga dikenal sebagai kyai kampung. Berbekal pengetahuan agama yang didapat dari pendidikan pesantren. Ia mengajar anakanak tentang pendidikan agama.

Di tahun 1980-an, pak Masroji mempunyai inisiatif mendirikan musholah. Karena saat itu musholah masih jarang, kalau pun ada tempatnya jauh. Warga Langai bergotong-royong membantu pendiriannya. Kemudian, musholah diberi nama Nurul Huda. Musholah tersebut adalah yang pertama dan tertua di kampung Langai. Beberapa tahun belakangan, semenjak pak Masroji mulai berkurang indera pendengaran dan ingatannya, anakanak tidak lagi mengaji di sana. Mereka disarankan untuk pindah ke musholah di sebelah utara rumah pak Masroji. Kini, sebagai sesepuh yang mempunyai pengetahuan keagamaan, pak Masroji selalu diminta warga untuk memimpin doa pada acara selamatan dan acara keagamaan lainnya.

Kalau dilihat secara fisik, pak Masroji masih terlihat bugar. Tetapi indera pendengaran dan ingatannya sudah mulai berkurang. Saat ditanya tentang sejarah, Ia hanya bisa mengingat sedikit. Beberapa menyebut nama Ratu Wilhelmina dan Ratu Juliana penguasa Belanda, sekilas mengenai masa penjajahan Jepang dan masa kemerdekaan Indonesia.

Ia tidak bisa lagi menjelaskan secara detail, kecuali ingatan tentang penjajahan Jepang yang begitu terasa emosional. Baginya penjajahan Jepang sangat keji, orang-orang kelaparan tidak punya bahan makanan dan hanya berpakaian karung (kaddu') karena semua dirampas oleh tentara Jepang. Tentu saja, meskipun secara tidak langsung, Ia telah menjadi saksi hidup sejarah Indonesia. Baik sejak masa penjajahan, masa kemerdekaan, dan sampai sekarang, dimana Indonesia telah memiliki presiden ketujuh.

Mengenai kampung Langai. Nama kampung disebut Langai, karena dulu terdapat pohon berduri/Langai yang berukuran besar. Ukuran diameternya bisa lebih dari satu pelukan orang dewasa. Tak hanya itu, dulunya kampung Langai masih sangat asri. Banyak terdapat pepohonan, tanahnya mudah dibuat lahan pertanian, pengairan tidak sulit dan sebagainya.

Kehidupan masyarakat di kampung Langai sejak dulu memiliki kebiasaan gotong-royong. Misalnya saat membangun rumah, acara pernikahan, dan acaraacara yang berhubungan dengan adat.

Ada satu ingatan yang membekas, mengenai tradisi sumbangan pernikahan. Menurut pak Masroji, dulu orang-orang menyumbang pernikahan dilakukan tanpa mengharap pengembalian. Dikembalikan atau tidak, bukan menjadi soal, yang terpenting adalah tolong-menolongnya. Berbeda dengan kondisi sekarang, setiap sumbangan harus dikembalikan sesuai jumlahnya. Malah disiarkan melalui pengeras suara.

Pak Masroji peka atas perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat di kampung Langai atau Situbondo secara umumnya. Ia dapat merasakan dan membaca perubahan yang terjadi di masyarakat akhir-akhir ini, terutama mengenai etika hubungan antar manusia. Tetapi, Ia sadar bahwa zaman pasti berubah. Sempat terlontar bagaimana pandangannya tentang kondisi masa lalu dan sekarang.

Lamba' jaranna badha eada', belluna badha ebudi. Samangken belluna badha eada', jaranna badha ebudi.


Meskipun hal tersebut menjadi sebuah keniscayaan, pak Masroji tetap berpesan pada setiap generasi muda untuk selalu menjaga kerukunan hidup antar manusia. Seperti dalam ungkapannya, “Senga'an parukun sataretanan. Mun pon apolong, tekka'a laen kandung, jek atokaran – kodhu saleng belei.” []
Redaksi

Redaksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.