Oleh Yudik Wergiyanto
Dimuat di belokin
Sebelumnya saya sudah pernah
menulis tentang Moh.
Imron. Tulisan itu berjudul “Usulan Kepada Mas Bro
Dari Seorang Yang Sok Tahu”. Dalam tulisan itu, saya mengusulkan
Moh. Imron untuk dijadikan Kepala Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan
Olahraga Kabupaten Situbondo. Saya paparkan pula kelebihan-kelebihan apa saja
yang dimiliki selebFacebook Situbondo tersebut sebagai modal untuk menduduki
posisi yang saya maksudkan.
Memang kalau menulis penuh tentang Moh. Imron baru sekali itu saja.
Tetapi, kalau soal singgung-menyinggung tentang beliau, rasanya sudah beberapa
kali saya melakukannya di tulisan saya. Sebab selalu saja ada yang menarik
untuk dituliskan mengenai kiprahnya, wabil khusus untuk kemajuan kabupaten
tercinta, Situbondo.
Maka dari itu, kali ini saya akan kembali menulis mengenai Moh. Imron,
pemuda yang seharusnya tidak dipandang sebelah mata oleh mantannya pemerintah.
Semua ini berawal dari beberapa hari yang lalu ketika KPMS, Komunitas
Penulis Muda Situbondo, menghadiri rangkaian acara dari Imabina (Ikatan
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia) Universitas Jember. Acara tersebut
dimulai dengan Bincang Sastra yang dilaksanakan di Kampoeng Batja Jember. Dalam
acara tersebut dilakukan obrolan santai tentang sastra dan perkembangannya
dengan Iman Suligi dan S. Arimba, sastrawan dari Yogyakarta, sebagai pembicara.
Kemudian malamnya ditutup dengan acara Malam Seni dan Sastra di kampus FKIP
Universitas Jember. Ada penampilan dramatisasi dan musikaliasi puisi dari
mahasiswa Imabina, serta talkshow buku juga.
Lalu, di mana letak kiprah seorang Moh. Imron? Akan saya jelaskan.
KPSM datang ke acara tersebut karena diundang oleh pihak panitia.
Sebetulnya bisa saja KPMS mengabaikan undangan tersebut dengan alasan tidak ada
anggota yang bisa hadir di sana. Kebanyakan anggota saat ini masih disibukkan
dengan urusannya masing-masing. Tetapi tentu tidak segampang itu. Ini soal
harga diri KPMS. Juga, suatu kesempatan besar bagi KPMS untuk menambah ilmu,
pengalaman dan jaringan demi kemajuan komunitas ini. Rasanya sayang kalau tidak
diambil. Alhasil, KPMS memutuskan untuk datang. Sudah pasti, Moh. Imron,
sebagai pentolan KPMS juga turut hadir serta beberapa anggota yang lain. Di
sinilah letak kekaguman saya kepada beliau.
Moh. Imron datang ke Jember di sela-sela kesibukannya mengingat mantan bekerja. Demi acara ini dia pun rela
cuti selama satu hari dari pekerjaannya. Kalau jadi beliau, belum tentu saya
mau mengambil cuti hanya untuk acara ini. Pasti saya akan berpikir ulang, “Masa
saya mau tuker pekerjaan demi acara ini. Di Jember pula, jauh. Lagian manfaat
apa yang akan saya dapatkan? Demi KPMS? Hmm, saya coba pikir-pikir lagi deh.” Tapi
beda dengan Moh. Imron, dia tak banyak pikir. Sekali dia mendapat undangan, dia
langsung putuskan untuk datang.
Pada saat acara Bincang Sastra pun sama, lagi-lagi saya salut kepada
beliau. Ketika diminta perwakilan dari KPMS untuk berbicara, beberapa anggota
saling tunjuk. Tetapi, Moh. Imron dengan gentle-nya mengambil mic dan langsung berbicara. Di sana beliau
menceritakan soal kurangnya minat baca di Situbondo, sedikitnya pegiat sastra,
serta perkembangan KPMS (termasuk program Lesehan Baca). Diceritakan pula
bagaimana perjuangan KPMS mendirikan Lesehan Baca, mulai dari hanya memiliki 9
buku sampai saat ini sudah puluhan buku. Dari penjelasannya tersirat bahwa
sebenarnya dia punya cita-cita besar, membawa perubahan untuk Situbondo melalui
pertumbuhan minat baca pada masyarakatnya. Cuma satu hal yang menjadi
kesalahannya saat itu, di sana beliau mengutarakan kurangnya perhatian dari
pemerintah. Dari nada bicaranya, ada harapan suatu saat pemerintah mau memberi
perhatian.
Hei, Bung, apa yang engkau harapkan dari pemerintah? Perhatiannya
tak akan membantu apa-apa.
Malam harinya, dengan masih menanggung lelah karena seharian beraktivitas,
Moh. Imron dibingungkan dengan dua acara yang hendak dihadirinya. Perlu
diketahui, selain acara dari Imabina itu, juga ada undangan dari acara Resital
Musik yang dilaksanakan di PKM. Beliau pun bingung harus mendatangi yang mana.
Keduanya sama-sama tidak mungkin bisa ditinggalkan. Ahkhirnya diputuskan untuk
membaginya saja. Sebagian anggota datang ke acara di PKM, sebagian lagi datang
ke Malam Seni dan Sastra di Kampus FKIP.
Rangkaian acara pun usai sekitar pukul 11 malam. Alih-alih beristirahat
dulu sebelum pulang keesokan harinya, Moh. Imron malah lebih memilih pulang
pada malam itu juga. Beliau berkata bahwa pekerjaannya esok hari tak bisa
ditinggalkan.
Wiiihhh, coba lihat bagaimana pengorbanannya. Demi membawa nama KPMS –
yang sebenarnya secara tidak langsung juga membawa misi besar untuk kemajuan
Situbondo – dia rela mengorbankan sebagian waktu, tenaga dan materinya. Apa
kita bisa melakukan hal seperti itu? Belum tentu.
Memang apa yang dilakukan Moh.
Imron tidak secara langsung mampu memberikan pengaruh besar terhadap kemajuan
Situbondo. Namun kita tidak bisa juga menyepelekan apa yang sudah dilakukannya.
Sebab kita sendiri belum tentu mau dan mampu melakukan hal yang sama, bukan? Moh.
Imron berharap apa yang dia dapatkan selama mengikuti rangkaian acara di Jember
itu, bisa dia aplikasikan di Situbondo. Dengan begitu, setidaknya Situbondo
bergairah, walaupun hanya dari segi seni dan budayanya.
Meski juga terbilang langkah kecil, tapi saya yakin hal tersebut akan
bermanfaat bagi kemajuan Situbondo. Entah berapa tahun lagi, selama Moh. Imron
tetap istiqomah dengan
perjuangannya, pasti semua akan terwujud.
Saya tidak tahu bagaimana seandainya Situbondo tanpa Moh. Imron.
Barangkali tidak akan pernah ada KPMS. Barangkali tak akan ada yang namanya
Lesehan Baca. Barangkali komunitas-komunitas di Situbondo tak akan saling
mengenal. Barangkali juga Situbondo akan begitu-begitu saja. Tapi yang jelas,
Situbondo membutuhkan Moh. Imron. Orang-orang seperti dirinya. Orang-orang yang
memulai dari hal-hal kecil, tapi tak pernah banyak bicara. Bukan orang-orang
yang mengaku sudah membangun ini itu, tapi hasilnya tidak jelas seperti apa.
Dibilang maju, tapi ya begini ini saja. Entah kemajuan seperti apa yang
dimaksudkan mereka.
Saat ini, yang terpenting, yang harus kita lakukan adalah kesadaran diri
kita sendiri: apakah keberadaan kita lebih banyak manfaatnya untuk Situbondo,
atau justru mudharat-nya.
Kita tidak pernah tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar