Social Media Sharing by CB Bloggerz


a
a
a
a

Recent Posts
recent

Pohon Tujuh Tangkai Seratus Biji

Oleh : Kiswatul Lathifah on Friday,

(Dimuat di Majalah Matan Edisi 91, terbit 1 Februari 2014)

Pada satu siang, di halte bus. Saya duduk bersebelahan dengan beberapa anak sekolah yang sedang menunggu jemputan. Tak kurang dari 20 menit, dua orang anak lelaki, menghabiskan cerita yang juga saya dengarkan. Tentang pohon tujuh tangkai. Begini ceritanya.

***

“Aku sudah sangat bersyukur bisa bersekolah seperti saat ini.” si Shodiqin mengawali perbincangan mereka.

“Benar. Bapak dan ibu panti sudah sangat berbaik hati pada kita. Hidup gratis, sekolah gratis, bahkan tak kalah dengan murid-murid berkelas, kita diantar jemput pakai mobil yayasan.” Sambil tertawa, Hamdan menjawab.

“Apa cita-citamu selepas sekolah nanti?” Shodiqin kembali bertanya.

Hamdan diam. Mereka-reka pikirannya sendiri. Mencari jawabannya. Sampai pada beberapa detik setelah pertanyaan temannya terlontar, ia menjawab,

“Aku ingin jadi manusia yang punya pohon tujuh tangkai seratus biji.”

Shodiqin tersenyum. Banyak pohon yang punya banyak tangkai. Seratus biji? Dalam setangkai ada seratus biji. Pohon langka mana yang bisa menghinggapi tangkainya dengan seratus biji. Lalu Hamdan pun menjelaskan, di beberapa menit perbincangan mereka, menunggu mobil yayasan.

***

Padahal, Tuhan Maha Pemurah. Namun, sering manusia berkeluh kesah. Menjemput harta demi harta yang dirasa perlu ditambah. Sampai pada satu kesimpulan, sang manusia tak pernah berujung pada kepuasan, selalu saja kurang. Hanya segelintir manusia yang tak menuruti hawa nafsunya.

Sebut saja pak Salim. Beberapa waktu lalu kukenal beliau dalam cerita. Pak Salim seorang petani, memiliki berpetak-petak sawah. Dalam setahun ia bisa menanam padi dan jagung. Atau di musim menguntungkan, ditanaminya dengan tembakau. Usaha pertaniannya sukses. Ia mampu mencukupi kebutuhan anak istri dengan penghasilannya sebagai petani. Beras panen, disimpannya beberapa untuk konsumsi sendiri. Pak Salim juga gemar berhemat. Memikirkan kian matang apa yang perlu dibelanjakan, dan apa yang tak terlalu mendesak dibeli.

Pak Salim juga lah yang memiliki pohon tujuh tangkai. Tak pernah menghardik orang yang hanya berkepentingan meminta-minta. Pengemis datang, diberinya pohon itu. Anak kecil lewat, diberinya pula sebatang pohon. Lebih-lebih apabila sanak saudaranya berkunjung, pohon yang ia berikan lebih dari satu. Sampai pada satu waktu, seorang yatim piatu datang berkunjung meminta bantuan, ia pun memberikan beberapa batang pohon tujuh tangkai padanya. Dan langsung merawatnya sebagai anak sendiri.

Pak Salim membangun sebuah mushola yang cukup besar di tanah kosongnya, tepat di samping rumah sebelum menuju persawahan. Di sekeliling mushola, tumbuh pohon tujuh tangkai berbiji seratus itu pula. Banyak musafir yang singgah di desanya, teramat menyukai Pak Salim yang kaya akan pohon. Punya beberapa petak sawah, dengan panen melimpah, tak cukup mengalihkan perhatian mereka pada pohon tujuh tangkai yang kian hari kian berlipat banyaknya.

Orang tua satu-satunya, ibu Pak Salim sakit keras. Lumpuh menahun. Sudah menjalani terapi ke dokter sana dan sini, semuanya nihil. Pak Salim sudah menghabiskan banyak uang untuk biaya pengobatan ibunya. Namun, itulah Pak Salim. Laki-laki gigih yang giat bekerja, juga senantiasa yakin akan doanya. Berharap ibunya bisa sembuh dari kelumpuhan yang bertahun-tahun dideritanya.

Sampai pada satu kondisi, Pak Salim mengalami paceklik berat. Sang istri kian mengeluh karena hasil panennya gagal berkepanjangan. Dipikirnya musim kemarau, tiba-tiba hujan mendera dan meluluhlantakkan tembakau yang diharapnya bisa sukses panen. Dianggapnya musim penghujan, tiba-tiba krisis air membuat padinya tumbuh layu dan tak bisa dijual. Keadaan ini pun dirasakan seluruh masyarakat desa, tak terkecuali Pak Salim.

Namun, Pak Salim punya satu aset yang membuatnya tetap berlapang dada. Pohon tujuh tangkai, tak habis termakan musim yang tak tentu. Masih bertengger di sekeliling rumah Pak Salim meski tak bisa dipanen. Pohon itu punya filosofi khusus, ia memenuhi kebutuhan rohani. Acap kali Pak Salim memandangi pohon-pohonnya, ia bersyukur. Penuh anggapan positif bahwa ini cobaan. Tak ada pekerjaan yang tak butuh resiko. Semua ada bahayanya. Persis seperti bahaya petani yang gagal panen, akibat musim dari sang Gusti Allah yang tak bisa diprediksi.

“Jangan khawatir, Bu. Kita tetap akan makan meski gagal begini. Bukankah masih ada sisa beras di lumbung. Gunakan saja itu dulu.”

Yang tak mampu dipikirkan istrinya, sanak saudara datang di musim paceklik ini untuk meminta beras. Tak ingin memberi, sang istri tak tega. Sebab, hanya Pak Salim yang masih berbaik hati.

Semuanya krisis. Gusti Allah berkehendak mengujinya lebih lama lagi. Sampai setahun penuh hasil panen Pak Salim tak kembali modal. Sementara ia mesti menghidupi istri dan sanak saudara yang kian bergantung padanya, ditambah lagi seorang yatim piatu yang diangkatnya anak, dan teramat disayanginya juga.

Ada keganjalan di rumahnya. Persediaan harta menipis. Sawah dan ladang masih saja gersang. Ibunya masih saja butuh berobat demi meringankan rasa sakit yang meremukkan tulang-tulangnya. Semua serba harus dihemat. Mengalah pada kebutuhan sang ibu akan obat.

Kegersangan dan situasi krisis tidak berlaku pada pohon tujuh tangkainya, yang kian melahirkan seratus biji dan pohon-pohon yang lain. Pohon yang makin menyesakkan rumahnya yang sarat akan problema hidup.

Sampai pada satu malam, cahaya menyembul dari tangkai-tangkai pohonnya. Menyeruak sinar dari ratusan biji yang dikandung pada tiap-tiap tangkai. Dari dalam rumah, di pekarangan depan, keluar pula dari bilik musholla, semuanya bersinar. Bercahaya. Lalu turun dari langit, sesosok malaikat yang membawa kabar gembira. Membawa kabar akan kesembuham ibunya. Memberitahu bahwa paceklik di keluarganya akan berakhir perlahan. Memberi harapan bahwa Gusti Allah akan memenuhi lumbungnya dengan padi berlimpah. Dengan satu syarat, semua pohon tujuh tangkai beserta ratusan bijinya mesti diambil sang malaikat.

Pak Salim mengiyakan. Malaikat itu tak membawa kabar bohong. Beberapa waktu kemudian sang ibu sembuh dari lumpuhnya yang menahun. Panennya kian berhasil. Persediaan padi kini penuh sesak di lumbungnya. Bahkan, di satu waktu ia menanam tembakau, tak ada hujan yang menghalau dan menggagalkan sumber penghidupannya.

Hidupnya membaik. Sejak malam itu ia menukar pohon tujuh tangkai pada sang malaikat. Pak Salim tak pernah berubah. Menyayangi keluarga dan sanak saudara, terus melanjutkan hidup sang yatim piatu yang dibesarkannya. Jiwanya selalu ingin berbagi, tak pernah menepis orang yang kian hari datang berkunjung meminta tolong. Satu kali Pak Salim memberi tanpa pamrih, satu pohon tujuh tangkai seratus biji tumbuh di pekarangan rumahnya.

***

Cerita Hamdan selesai. Shodiqin tersenyum sambil menghembus nafas dan melemaskan pundaknya. Mereka tersenyum dan saling menepuk punggung satu sama lain. Shadiqin pun memuji sahabatnya, “Kau memang pandai bercerita.”

***

Saya jadi tahu, sesungguhnya kepuasan sejati adalah melihat sesamanya tidak sengsara, bisa berbagi tanpa berat hati. Seperti kisah yang diceritakan Hamdan tadi. Pak Salim punya hati tanpa pamrih, murni ikhlas untuk berbagi. Tak pernah menolak siapa pun yang datang meminta.

Kedua anak itu kemudian mendahului saya karena mobil yayasan yang menjemputnya sudah datang. Mobil pick up warna hitam bernamakan “Yayasan Panti Asuhan Tunas Harapan”. Mereka tertawa lepas penuh riang. Anak-anak yang dibesarkan dari keikhlasan hati manusia yang mau berbagi.



Panarukan, Situbondo. 2013

Inspirasi dari:

“Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:261)


*) Anggota Komunitas Penulis Muda Situbondo
Redaksi

Redaksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.