Social Media Sharing by CB Bloggerz


a
a
a
a

Recent Posts
recent

Bilur di Punggung Ibu

Oleh: Kiswatul Lathifah

Aku selalumengalah pada senja. Aku juga selalu mengalah pada angin kayu yang datanghampir tiap malam. Nyaris tiap hari. Yang paling penting, aku selalu mengalahpada punggung Ibu. Teramat mencintai punggung itu. Setiap kali senja menang,selalu kupeluk punggung Ibu yang bilur. Ya. Bilur. Tak pernah kutemukanpunggung seunik itu. Penuh bilur tapi tetap menyimpan hangat yang membuatkuselalu ingin mendekap. Bilur-bilur biru di punggung Ibu, tercetak tak beraturannyaris tiap malam. Bilur dan tubuh Ibu yang meringkuk, adalah satu hal yangterbiasa kulihat. Saat Ayah berada pada kemarahan.

            Akutak lagi ingat kapan Ayah selalu marah pada Ibu yang menurutku tak bersalah.Ayah jadi tak senang mendengar penjelasan apapun. Ingin sekali kuikut campursaat Ayah dan Ibu bertengkar karena hal kecil. Misalnya, karena Ibu tak cepatsediakan kopi atau teh hangat, karena masakan Ibu yang tak sesuai selera,murahan katanya, tak enak seperti di restoran. Entah sejak kapan Ayah mulaihafal pada nama-nama restoran, yang pasti, selalu dibandingkan dengan masakanIbu. Ayah juga kerap marah hanya karena jaket kesayangannya belum kering benar.Kupikir, kenapa mesti Ibu yang kena marah? Bukankah jaketnya tak cepat garingkarena hujan dan mendung yang berkelanjutan seharian?
            Suasanasaat Ayah melayangkan angin kayu dan mencetak bilur di punggung Ibu, setahuku,nyaris setahun berlalu. Saat itulah langkahku berhamburan setiap senja, ataubangun tengah malam, saat Ibu berulang kali berucap kata maaf dan meminta Ayahberhenti memukulnya. Kupeluk punggung Ibu. Kutahan laju angin kayu Ayah yangkencang sekuat tenaga dan harapku. Kutepis sesering mungkin, tapi selalu sajakalah.
            SaatAyah menyadari dirinya mulai lelah dengan tangis kami yang berderai, kayunya dilemparbegitu saja. Derak anginnya tak lagi didengar. Ayah pun pergi dan duduk di mejadapur menyeruput kopi atau teh buatan Ibu. Seperti tak bersalah. Sementara, Ibumenangis dalam dekapku yang dingin. Air matanya jatuh membasahipundakku yang lunglai. Aku ikut sakit. Tak kuat menahan angin kayu Ayah, padaakhirnya aku pun turut dipukuli karena ikut campur urusan orangtua, begitu kataAyah dalam marahnya tadi. Tapi, justru ibulah yang membuatku sangat sakit.Melihatnya menangis dengan sisa tenaga yang masih ada, Ibu sesenggukan sambilberkata,
            “Maafkanibu.”
            Sampaibeberapa waktu tak pernah kumengerti mengapa Ibu meminta maaf. Padahal, Ayahyang seharusnya minta maaf untuk airmata Ibu yang berserakan. Bukannya Ibu.
            “Akutak ingin melihat ibu seperti ini. Kita pergi saja, Bu.”
            Sudahkukatakan hampir setiap malam. Tapi Ibu tetap saja dengan jawaban bisunyasambil menggeleng kepala. Ibu tak mau kuajak pergi. Sebenarnya, aku juga takpunya keberanian untuk pergi dari rumah, hendak ke mana kami berdua? Aku jugamasih anak sekolah yang belum genap 17 tahun. Tapi, di usia yang kupikirharusnya perasaanku dipahami orangtua, justru membuatku berlaku sebaliknya.Mencoba menghapus kesedihan Ibu dan menerka alasan apa sebenarnya dibalik emosiAyah yang tak terkendali.
            “Kenapaibu tak mau? Kita bisa saja pergi ke rumah Nenek di kampung. Ibu tak seharusnyamenanggung sakit tiap kali Ayah datang.”
            Ibulagi-lagi menggeleng, “Ibu tak apa-apa, Nak.”
            Ibujelas berbohong. Bagaimana mungkin Ibu tak apa-apa sedang tiap kupelukpunggungnya, dirinya sedikit meringis sakit?
            Malamitu, Ibu masih saja menangis. Sudah kubaringkan tubuh Ibu di kamarku.Kuselimuti Ibu agar hangat. Semoga kehangatan itu menyapu kesedihanya.Sepanjang malam, meski kupikir Ibu terlelap, sesenggukan masih menyertai napasIbu hingga berjam-jam. Juga bilur yang terlukis di kulit Ibu sebagai latarnya. Akutak lagi pikirkan Ayah. Ia hanya akan pergi lagi, beralasan membeli sebungkusnasi, tapi pulang dini hari dengan bau mirip larutan etanol dari mulutnya. Lalupaginya, Ayah hanya akan bergegas berangkat kerja karena terlambat, tak lagisempat sarapan bersama kami.
            Ibukubegitu pemaaf. Meski matanya bengkak, ia hanya akan menyuruhku melupakantindakan Ayah semalam. Percakapan kami di meja makan tak pernah absen daripermintaan Ibu agar aku memaafkan Ayah.
            “Untukapa? Ayah tak perlu dimaafkan,” katakupada Ibu yang menghela napas dan memegang pergelangan tanganku.
            “Apauntungnya ibu bertahan? Ibu tak perlu pedulikan aku yang mungkin saja dibilang broken home oleh kebanyakan orang. Akuhanya ingin ibu tak lagi seperti ini.”
            “Nantikau terlambat sekolah, Nak. Cepat habiskan makananmu.” Ibu selalu begitu.Mencari perbincangan lain.
            “Ayolah,Bu. Kita pergi saja. Apa ibu tak lihat bagaimana ibu saat ini?” Ibukumenggeleng dan mengangkat pundaknya.
            “Pipiibu jauh lebih tirus, badan ibu pun kurus. Ibu seperti kurang sehat. Wajah ibumencolok seperti perempuan yang sarat dengan beban pikiran. Tubuh ibu lebam,bilur di mana-mana.” Mata Ibu berkaca-kaca. Disekanya dengan punggung tangan.Kini, berganti tanganku yang menggenggam erat tangan Ibu.
            “Taksemudah itu, Nak.”
            “Kitabisa pindah ke rumah Nenek. Tinggalkan saja Ayah.”
            Ibukumenggeleng pelan. Entah apa yang ada di pikiran Ibu. Aku tak punya waktumenerkanya. Segera kuhabiskan makananku dan mencium tangan Ibu, pergi kesekolah.
***
            Akudan Ibu akhirnya memutuskan untuk tinggal di rumah Nenek di kampung seberang.Kuhabiskan sisa sekolahku di sana. Bagiku, kini hidup Ibu jauh lebih tenang.Satu-satunya alasan yang membuat Ibu tak lagi bisa memaafkan Ayah bukan karenapukulan  yang melayang nyaris tiap malam.Tapi, Ayah tanpa rasa bersalah datang ke rumah kami dengan perempuan yang takkukenal. Perihal itu, aku tak pernah bertanya lagi pada Ibu. Aku sudah cukupsenang, karena malam itu juga Ibuku mengajak menyeberang dari Jakarta keKalimantan.
***
            “Bu,aku ingin bekerja saja.”
            Ibukumengusap ubun-ubunku dengan tangannya yang hangat. Ia tersenyum. Kali inipipinya tak lagi tirus penuh beban seperti dulu di hari-hari Ayah seringmemukulnya. Kami berdua mutlak tinggal di rumah Nenek. Nyaris dua tahun.
            “Kaumesti kuliah, Nak.”
            Sebenarnyaaku senang mendengar kalimat Ibu. Tapi, apa iya aku akan kuliah sementara Ibu hanyalahseorang penjual ikan di pinggiran dermaga sungai Kapuas? Aku tak tega. Ibupasti lah harus melilit perut demi biayaku bersekolah.
            “Apayang kaupikirkan? Ibu mampu, Nak.”
            Satualasan yang membuatku begitu mengagumi Ibu. Ia tak pernah membuat harapankusurut. Ia selalu yakin. Yakin bahwa keinginan baik pasti didengar Tuhan.
            “Akutak mau memberatkan Ibu.”  
            “TapiIbu sama sekali tak keberatan. Masih ada sisa tabungan untuk pendaftaranmunanti. Kau bisa pilih sesuka hati hendak kuliah di mana.” Jawab Ibu yakin.
            “Ibuserius?” Ibuku mengangguk. Kucium tangan dan pipi Ibu sambil berkaca-kaca.
            “Segeralahikuti tes ujian seleksi bersama Jamilah. Kudengar, ia hendak pergi ke Pekanbarulusa.” Aku mengangguk sementara Ibu memelukku erat.
Esoknya, akupergi dengan Jamilah, tetanggaku, menilik calon perguruan tinggi kami. Akubelajar giat melihat bara semangat di mata Ibu. Aku tahu sekali Ibu inginmelihatku belajar ke perguruan tinggi. Pernah kudengar percakapan Ibu danNenek, dia bilang, “Aku ingin Nurmala jadi sarjana. Agar ia bisa bekerja dantak menggantungkan hidup sepenuhnya pada suaminya kelak.” Malam itu, Nenekmemeluk Ibu kian dekat, sampai kulihat airmata Ibu berceracap di pundak Nenek.
            Saatitulah aku tahu luka Ibu belum sembuh benar. Meski bilur-bilur biru di punggungdan sembab bekas menangis seharian di matanya sudah hilang, tak lantas membuatkepedihan yang dibuat Ayah pudar bersama hilangnya bekas-bekas luka itu. Ibubukanlah perempuan pembantah, tak sekali pun kudengar suara Ibu melebihi tinggisuara Ayah. Ibu juga tak banyak protes saat perempuan asing memasuki rumahkami. Dengan cepat Ibu ambil koper usang yang ukurannya cukup besar, memasukkanbeberapa buah bajuku dan bajunya. Sederhana Ibu berkata, tanpa ekspresi apapun,“Kita berangkat ke rumah Nenek sekarang.” Titik. Dan malam itu juga kami pergitinggalkan Ayah.
            Yangmesti kupertanyakan pada Ayah, kenapa tak sekali pun Ayah mencoba mencari kami,menghubungi telepon rumah Nenek? Tak sedetik pun. Karenanya, Ibu juga tak maupeduli bagaimana Ayah di sana. Ibu cuma bilang, “Ayahmu pasti baik-baik saja.”Selesai. Tak ada lagi kalimat Ibu, lebih-lebih menyinggung perempuan asingmalam itu.
***
            Pagiitu, Jamilah bergegas datang ke rumah dan memberitahu perihal diriku yang lolosseleksi tes masuk universitas. Ibuku yang baru saja datang berjualan, girangbukan main mendengarnya. Ia lantas menjatuhkan tubuhnya memelukku sambilberkali-kali berucap “Alhamdulillah”.
            Percakapankami pun berlanjut di malam selepas maghrib.
            “Berapabiaya registrasinya, Nak?”
            Setengahberat kukatakan pada Ibu, “Dua juta lima ratus ribu, Bu.”
            “KalauIbu tak sanggup, tak apa. Akan kubatalkan rencanaku untuk kuliah. Bukankahsejak awal aku ingin bekerja selepas SMA.” Lanjutku.
            “Tidak,Nak. Ibu mampu.” Senyumnya melengkung mirip bulan sabit di langit gelap malamitu.
            “Kapankau hendak berangkat lagi ke Pekanbaru?”
            “Lusa,Bu. Apa Ibu ada uang?”
            “Takusah kaupedulikan soal uang. Ibu punya tabungan yang tiap hari Ibu sisihkandari hasil menjual ikan. Seribu dua ribu perak. Kalau pun kurang, ibu bisapinjam dahulu ke Bang Idris, pedagang kelontong sebelah. Ia percaya pada Ibu.Yang paling penting sekarang kau harus bersekolah tinggi. Tak usah pikirkan hallain.”
            Akumenghela napas. Kubaringkan kepala di pangkuan Ibu yang tengah duduk di kursirotan. Ibu membelainya pelan. Ah. Betapa nyamannya tangan Ibu.
            “Kautelepon ayahmu esok. Kabari dia. Sudah lama kau tak berkirim kabar padanya.”
            Dahikumengernyit. Kepalaku terangkat menatap Ibu,“untukapa? Aku tak mau.”
            “Kauharus, Nak. Bagaimana pun ia mesti tahu kabarmu. Mintalah doa padanya juga.”
            Hatikusebal dengan permintaan Ibu. Untuk apa? Ayahlah yang selalu melukis bilur dipunggung Ibu dan membuatnya menangis semalaman. Tanpa rasa bersalah,lebih-lebih minta maaf, Ayah malah membiarkan Ibu tidur di kamarku dengansesenggukan yang sering kudengar dalam tidurnya yang setengah nyenyak. Aku taktahu apa ini boleh. Tapi aku belum bisa memaafkan Ayah, sekalipun Ibu menyuruhberulang-ulang.
            “Ayahtak mungkin memikirkanku, Bu.”
            “Ayahmumemikirkanmu, Nak. Kau darah dagingnya. Sudahlah. Besok kau telepon ayah,mintalah doanya juga.”
            “Doaibu sudah cukup untukku.”
            “Doakedua orantuamu, Nak. Bukan cuma ibu.”
            Kembalikubaringkan wajah ke pangkuan Ibu. Aku tak mau berdebat. Sudah lama aku takbicara pada Ayah. Sejak kepulanganku ke Kalimantan, tak lagi kutatap dankudengar suara Ayah. Sebenanya ini tak adil, tapi pikiranku saat itumenggenapkan kebencian tak terelakkan karena Ayah juga tak pernah berusahamencari kami.
            “Ibumungkin mantan istrinya, tapi tak pernah ada mantan anak. Kau tetap anaknya.Tak boleh ikut-ikutan membencinya, Nak.” Kata Ibu lagi. Ada sesuatu yangmenetes di kepalaku. Tapi aku tak bertanya, masih diam, tak juga meraba denganjemari di titik yang basah dan mengangkat kepalaku. Tangan kanan Ibu bergerakseperti mengusap sesuatu. Aku tahu yang diusap pasti air matanya. Airmata yangsama kala mengingat Ayah.

-Selesai-
Redaksi

Redaksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.