Social Media Sharing by CB Bloggerz


a
a
a
a

Recent Posts
recent

Semangatmu Nek

Oleh : Detha Mukti 

Kini Cici semakin percaya diri dan yakin bisa melakukannya. Dengan pesan-pesan Nenek dulu yang ia ingat sampai sekarang, membuatnya lebih tegar bahwa tak ada usaha yang sia-sia. Walaupun hujan lebat menghalangi niatnya pun, ia tetap segan melangkahkan kakinya menuju mushola meghfalkan setiap ayat-ayat Al-Qur’an yang harus ia hafal, untuk perlombaan Hafalan Al-Qur’an di Masjid Baitul Muttaqin. Ia tak ingin mengecewakan Neneknya yang begitu bersemangat mengorbankan apa saja untuknya.
“Nenek, Ibu dulu sudah mulai mengaji dari umur berapa?” Tanya Cici kepada Nenek dengan polosnya.
“Nenek sudah lupa Cu. Itu sudah lama sekali. Yang penting sekarang, kamu harus pintar mengaji agar Ibumu nanti bangga dengan mu” pikun adalah alasan Nenek agar Cici tidak bertanya lagi tentang Ibunya. Karena Ibu Cici dulu tidak tinggal dengan Nenek.
“Oh.. begitu ya Nek. Iya. Cici rajin kok Nek mengajinya. Kemarin Cici sudah sampai jilid 6”.
Cici adalah gadis polos berumur lima tahun. Ia adalah satu-satunya cucu Nenek yang tinggal dengan Nenek. Ia ditinggal oleh Ibunya keluar negeri menjadi TKW untuk membiayai sekolah Cici. Nenek hanya tinggal berdua dengan Cici disebuah rumah sederhana. Nenek bekerja sebagai pedagang kopi. Disetiap harinya, Nenek menjemur dan menjual kopi-kopi tersebut ketika sudah kering. Terkadang Nenek juga mengolahnya sendiri untuk dijadikan bubuk kopi yang ia nikmati sendiri. Untuk menjual kopi dan menimbangnya, Nenek membawa kopi itu kesebuah tempat penimbangan dan tempat dimana Nenek menjual kopi itu. Terkadang, Nenek dibantu oleh anak pertamanya yang tinggal tak begitu jauh dari rumahnya. Terkadang ula, Nenek memikulnya sendiri dengan ditemani Cici yang selalu menghibur Nenek dikala lelahnya.
“Nenek, aku capek. Ayo istrahat” keluh Cici.
“Iya sebentar lagi ya Cu. Disana ada pohon yang rindang, kita duduk sebentar disana” jawab Nenek.
Pohon yang rindang, dan sejuk. Ditambah semilir angin membuat Cici mengantuk dan sampai tertidur dipangkuan Nenek. Terdiam selama beberapa menit, Cici kembali terbangun saat Nenek mengambil uang di saku Nenek yang tertindih oleh Cici.
“Ini” ulur tangan Nenek memberikan uang recehan untuk pengemis yang sama tuanya dengan Nenek.
“Loh. Nenek kok ngasih uang ke orang tua itu? Kan orang tua itu sama dengan Nenek. Nenek kan ndak pernah meminta-minta seperti orang tua itu”.
“Kita harus berbagi Cici. Kita ndak boleh pelit. Mungkin orang tua tadi sudah tidak kuat lagi seperti Nenek. Kita harus kasihani orang yang lebih membutuhkan. Nanti, kalau kamu punya uang sendiri. Kamu juga harus begitu kepada orang yang membutuhkan ya?” begitu nasihat Nenek.
“Oh begitu ya Nek. Iya. Iya. Nanti Cici punya uang sendiri ya? Terus, ada yang minta-minta deh sama Cici. Terus Cici kasih deh. Tadi Nenek ngasih berapa?”.
“Seikhlasnya Cici. Ikhlas itu, kita tidak keberatan memberikan uang kita. Dan kita, tidak mengharapkan imbalan dari apa yang kita berikan. Begitu. Ya sudah, kita cepat pulang ya? Sudah menjelang sore. Nanti kamu harus mengaji kan?”.
“Oh iya Nek. Hehe Cici nanti mau mengaji”.
***
Disetiap harinya Nenek selalu mengantar dan menjemput Cici mengaji. Walaupun kelelahan sudah memenuhi wajah Nenek, namun Nenek tidak pernah telat atau beralasan apapun untuk mengantar Cici mengaji. Harapan Nenek nanti kepada Cici adalah, Nenek ingin sekali Cici menjadi anak yang sholeha yang selalu berada dijalan Allah. Dan selalu mendoakan Nenek serta orangtuanya kelak. Nenek sangat menyayangi Cici. Ia memperlakukan Cici layaknya cucu emasnya. Sampai cucu-cucu Nenek yang lain iri kepada Cici. Nenek melakukan itu, karena Cici sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Neneknya. Cici ditinggal oleh Ibunya setelah Ibunya cerai dengan Ayah Cici dua tiga yang lalu. Saat ditinggal, Cici baru berusia dua tahun.
“Nah, Cici mengajinya yang pintar ya? Nanti kalau Cici bisa baca Al-Qur’an, Cici dibelikan sepeda” iming Nenek untuk menyemangati Cici.
“Iya. Nenek hati-hati ya pulangnya”.
Nenek segera berlalu seusai Cici mencium tangan Nenek. Diperjalanan pulang, Nenek merasa pening dan batuk-batuk. Ia segera beritirahat sejenak dirumahnya. Dua jam berlalu, Nenek mendengar suara adzan Isyak telah dikumandangkan. Segera Nenek menjemput Cici dimushola. Kala itu, gerimis mengiringi perjalanan pulang Cici digendongan Nenek. Dengan payung yang alakadarnya. Nenek kembali berdehem dan terbatuk. Saat Nenek meludah, kembali Nenek mendapati darah ikut keluar dari ludahnya.
“Loh kok ada darah Nek? Bibirnya Nenek luka ya?” Tanya Cici.
“Iya Ci, bibir Nenek luka” jawab Nenek.
“Tapi tidak ada bekas luka kok dibibir Nenek. Kok bisa ada darah ya Nek?”
“Oh ini karena tadi Nenek makan saus tomat. Mangkanya kamu kalau beli-beli jangan makan saus tomat banyak-banyak. Nanti diperutnya kamu banyak merah-merahnya” begitu jelas Nenek menjelaskan asal darah itu kepada Cici yang polos. Yang sebenarnya, darah itu adalah luka dalam. Karena kemungkinan Nenek kelelahan.
***
16 september 2000 Cici menginjak usia 6 tahun. Cici sudah tidak lagi membaca Iqra’. Tapi ia sudah membaca Alqur’an. Nenek sangat bangga keada Cici. Ia sangat giat belajar membaca Al-Qur’an. Nenek segera memenuhi janji yang pernah Nenek janjikan kepada Cici. Nenek membelikan sepada mini lucu untuk Cici. Sepeda itu berwarna merah, lengkap dengan keranjang didepan serta tempat duduk untuk boncengan dibelakang. Sepeda itu dilengkapi dengan dua roda bantu karena Cici baru pertama kali belajar naik dan mengayunkan sepeda dengan belum seimbang.
“Cici. Cepat pulang. Lihat dikamarmu ada apa? Nenek takut” panggil Nenek kepada Cici yang masih bermain.
“Ada apa Nek? Kok Nenek sampai takut?” Tanya Cici dengan mengerutkan dahi.
Dengan langkah hati-hati, Cici membuka korden kamarnya dan melihat apa yang telah terjadi didalam kamar sehingga membuat Neneknya ketakutan setelah melihatnya.
“Loh Nek?” ucap Cici dengan wajah kaget setengah pucat setelah memandang kedalam sudut kamarnya.
“Ini sepedah siapa Nek? Mengapa ada kamar Cici?” kembali cici menanyakan perihal sepeda yang tiba-tiba sudah terpakir dengan masih terbungkus rapi oleh plastic.
“Itu milikmu Nak. Kamu senang tidak?”.
“Alhamdulillah. Cici sangat senang Nek. Ye .. ye .. ye.. Cici punya sepeda baru. Terimakasih Nek” girang Cici dan menciumi Neneknya.
“Kan dulu Nenek sudah berjanji kepada Cici. Nah, sekarang Cici harus lebih giat lagi ya belajar mengajinya?”.
“Siap Nenekku sayang”.
Cici sangat senang dengan hadiah pemberian Nenek. Setiap hari ia belajar mengemudikan sepedahnya memutari halaman depan rumahnya. Ia pun tak lupa lebih giat lagi mengaji. Kali ini, ia sudah tidak diantarkan lagi oleh Nenek. Ia berangkat sendiri menuju Mushola. Nenek hanya menjemutnya karena Nenek khawatir kala malam ia pulang sendirian.
***
“Nah anak-anak. Ada perlombaan tartil Al-Qur’an di sekolah Muhammadiyah. Ada lomba kaligrafi juga. Ustadz akan menunjuk siapa yang terilih mengikuti lomba tersebut” sebuah pengumuman terlontar dari mulut Ustadz didepan para murid dan Cici yang diajarnya.
“Yang pertama, lomba Tartil Al-Qur’an akan diwakilkan kepada Cici. Dan kaligrafi diwakilkan kepada Deni”.
Cici sangat senang mendengar bahwa ia terpilih untu mewakili teman-temannya berlomba di Masjid Baitul Muttaqin. Nenek pun turut senang mendengarnya. Tapi dikala Cici kegirangan, Nenek malah jatuh sakit. Tubuh Nenek sudah sangat lemah, sampai ia dilarikan kerumah sakit. Cici sangat sedih melihat Nenek yang terbaring dirumah sakit. Nenek hanya berpesan kepada anaknya yang lain untuk jangan lupa mengantar dan tak lupa menjemput Cici belajar mengaji ke mushola. Disetiap harinya Cici sudah tidak diantar maupun dijemput oleh Nenek lagi. Melainkan Cici sudah diantar dan dijemput oleh Pakde nya. Namun, Cici tetap bersemangat untuk berlatih tartil Qur’an. Karena ia tidak ingin mengecewakan Neneknya.
Tiba pada hari Cici melaksanakan lomba di Madjid Baitul Muttaqin. Cici mencium tangan Nenek yang sudah terbaring sakit untuk meminta restunya. Dan juga kepada Ustadznya. Ia sangat bersungguh-sungguh membaca Alqur’an didepan juri dan peserta yang lain. Saat membaca Al-Qur’an tersebut, ia teringat kepada pesan-pesan Nenek. Karenanya, ia sampai menjatuhkan air mata karena ia sangat menghayati apa yang ia baca. Suara Cici menjagi terdengar sangat merdu dan apik. Sekitar empat jam berlalu, pembacaan Al-Qur’an dan kaligrafi sudah usai dibaca oleh para peserta. Telah tiba pada saat-saat yang ditunggu-tunggu. Sebuah pengumuman pemenang lomba tartil baca Al-Qur’an dan Kaligrafi segera dibacakan. Cici sudah tidak sabar menunggunya.
“Tiba pada acara inti. Kami akan membacakan keputusan pemenang lomba dari para juri yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Pemenang pertama, diraih oleh..”
Cici dan peserta yang lain gugup mendengar siapa pemenang lomba tersebut.
“Siti uswatun Hasanah. Se.. se.. bentar. Saya salah menyebutkan. Maaf .. maaf.. tadi harusnya saya menyebutkan pemenang ketiga. Pemenang lomba ketiga lomba Tartil Al-Qur’an dimenangkan oleh Siti Uswatun Hasanah. Pemenang juara ke dua diraih oleh Riskiatun Ro’diyah. Dan pemenang juara pertama diraih oleh Ananda Cici Nurkhalifah. Dan pemenang lomba kaligrafi. Pemenang juara ketiga diraih oleh Fahris salam. Pemenang juara kedua diraih oleh Krisna dolken. Dan pemenang juara pertama, diraih oleh Ananda Deni kurniawan. Sekian keputusan juri yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Kepada para pemenang yang telah disebutkan, diharap menuju kepanggung untuk menerima piala, sertivikat, serta hadiahnya. Terimakasih.”
“Cici sangat senang mendengar namanya disebutkan sebagai juara pertama tadi. Ia ingin sekali memeluk Nenek dan menunjukkan piala yang ia peroleh tadi. Disudut pintu keluar, Cici sudah disambut dengan wajah pucat dari Budhe dan Pak de Cici. Dengan usapan air mata dari Budhe, Pakdhe segera membawa Cici pulang kerumahnya. Saat Cici telah sampai dirumahnya, ia mendapati rumahnya telah dipadati oleh banyak tetangga-tetangga yang melayat dirumah Cici. Cici kaget karena saat diambang pintu, ia telah mendapati Neneknya telah tertidur dengan muka pucat menyambut kedatangan Cici. Isakan tangis dan jeritan keluar dari mulut Cici. Ia tak kuasa melihat Neneknya telah pergi meninggalkannya. Segera ia memeluk dan menciumi jasad Neneknya untuk terakhir kalinya. Dan kantung mata yang masih terbendung dengan air mata, Cici mengaji disamping jasad Neneknya dan mendoakannya.
Redaksi

Redaksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.